kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,75   -27,98   -3.02%
  • EMAS1.327.000 1,30%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Menkes Minta 50% Hulu Hilir Kebutuhan Obat Dipenuhi dari Dalam Negeri


Kamis, 02 Juni 2022 / 13:36 WIB
Menkes Minta 50% Hulu Hilir Kebutuhan Obat Dipenuhi dari Dalam Negeri
ILUSTRASI. Menkes Budi Gunadi Sadikin


Reporter: Ratih Waseso | Editor: Herlina Kartika Dewi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengungkap, industri obat-obatan nasional mayoritas masih didominasi oleh bahan baku impor. Kondisi tersebut mengakibatkan, secara ketahanan sistem kesehatan Indonesia masih belum kuat lantaran bergantung dari luar negeri.

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengungkapkan, dampak kondisi tersebut terasa ketika pandemi Covid-19. Dimana Indonesia harus berebut baik vaksin ataupun obat-obatan Covid-19 dengan negara lain, karena belum tercipta kemandirian di dalam negeri.

Dua negara yang menjadi produsen terbesar bahan baku obat di dunia ialah China dan India. Sedangkan saat kasus Covid-19 di dunia meningkat lalu, dua negara tersebut memilih melakukan lockdown hingga menahan pasokan bahan baku obat untuk keperluannya sendiri.

Oleh karenanya, Budi ingin agar ke depan 50% kebutuhan obat-obatan nasional dari hulu ke hilir dapat diproduksi di dalam negeri. Upaya ini dilakukan sebagai perlindungan 270 juta rakyat, apabila terjadi potensi pandemi di masa mendatang.

Baca Juga: Perkuat Bisnis di Filipina, Kalbe Farma (KLBF) Bentuk Perusahaan Patungan

"Jadi kita kalau ada apa-apa bisa dapat akses yang bagus untuk obat-obatannya. Khusus untuk ketahanan kesehatan ini salah satu programnya adalah memastikan bahan baku obatnya dibangun di sini. Pabrik obat udah banyak, tapi bahan baku obatnya masih impor," kata Budi dalam Kick Off Change Source Penggunaan Bahan Baku Obat Dalam Negeri, Kamis (2/6).

Guna mencapai target tersebut, salah satu upaya yang dilakukan Kemenkes ialah memfasilitasi change source. Pasalnya, industri farmasi selama ini mengaku kesulitan dalam birokrasi perubahan penggunaan bahan baku obat impor ke lokal. 

Dari sana maka Kemenkes menginisiasi reformasi birokrasi untuk mempermudah change source bahan baku obat dalam negeri.

"Misalnya dari China kemudian ubah bahan bakunya beli dari Kimia Farma itu perizinannya panjang dan rumit, maka Kementerian Kesehatan dan BPOM kita melakukan reformasi dari birokrasi dan regulasi. Agar kalau mau mengubah bahan bakunya tadinya impor menjadi produk dalam negeri dipermudah itu yang dinamakan change source," jelasnya.

Dengan adanya fasilitasi change source ini, pemerintah berharap adanya percepatan perubahan penggunaan bahan baku obat impor menjadi yang diproduksi dalam negeri hingga September mendatang. 

Hal ini berkaca pada September nanti, seluruh barang dan jasa sektor kesehatan harus masuk e-katalog sektoral, untuk keperluan belanja pemerintah/lembaga di tahun depan.

Budi mengapresiasi perusahaan farmasi yang telah menunjukkan komitmennya, untuk mengubah penggunaan bahan baku impor dengan bahan baku lokal. 

Adapun apresiasi diberikan kepada Kimia Farma, Sungwun Pharmacopia, Riasima, Ferron Par Pharmaceutical, Daewoong Infion, Kalbio Global Medika, Kimia Farma, Dexa Medica, Kalbe Farma, Otto Pharmaceutical, Pertiwi Agung, Novell Pharmaceutical Laboratories, Phapros, Lapi Laboratories, Meprofarm, Dipa Pharmalab.

Namun, bagi perusahaan farmasi yang belum mengubah penggunaan bahan baku obat impor ke bahan baku dalam negeri, Budi berharap segera menunjukkan komitmennya.

Untuk perusahaan yang belum menggunakan bahan baku obat dalam negeri, Kementerian Kesehatan akan melakukan pemanggilan melalui Ditjen Farmasi dan Alat Kesehatan (Farmalkes).

Baca Juga: Kalbe Farma (KLBF) Perbesar Potensi Pendapatan dari Pasar Ekspor

"Kalau Bu Rizka (Dirjen Farmalkes) tidak berhasil panggil, nanti saya yang panggil. Kalau dipanggil tidak mau datang kita freeze obat-obatannya di E-katalog kita. Pak Presiden jelas semua belanja pemerintah untuk obat akan diprioritaskan ke produksi dalam negeri," tegasnya.

Budi menjelaskan, bahan baku obat impor yang saat ini digunakan industri farmasi dalam negeri berasal dari raw meterial di Indonesia. Hal tersebut disayangkan, lantaran nilai tambah hasil tambang Indonesia justru dirasakan negara lain.

Misalnya saja untuk bahan baku obat merah yakni povidon iodin. Povidon iodin dibuat dari barang tambang yang ternyata dimiliki Indonesia dan kini dikelola oleh Kimia Farma. Guna mendorong hilirisasi produk dalam negeri, pemerintah meresmikan Pabrik Bahan Baku Obat yaitu Povidon Iodin di Cikarang, Jawa Barat.

"Bahan baku iodin sebelumnya 100% impor, dengan pabrik ini bahan bakunya bisa beli dalam negeri. Povidon Iodin ini dari barang tambang dari tambang Kimia Farma di Jawa Timur. Ini sama kayak nikel dan baja, kita punya mentahan malah diekspor terus balik lagi buat dibikin baja. Ini penambahan nilainya ekonominya di luar," ungkapnya.

Dengan hilirisasi pemerintah ingin meningkatkan nilai produk dalam negeri. Hingga mampu menciptakan lapangan pekerjaan lebih luas di Indonesia.

Budi berharap perusahaan-perusahaan dalam negeri berkomitmen untuk membangun industri dalam negeri, sehingga bisa berkontribusi pada penambahan lapangan pekerjaan dan pendapatan pajak. 

"Dan paling penting ketahanan kesehatan itu terbangun sehingga kalau ada pandemi lagi, kita tidak usah panik-panik cari-cari sumber ke negara lain, tidak usah mengemis vaksin, ngemis obat karena tidak produksi dalam negeri," ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×