kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45903,33   4,58   0.51%
  • EMAS1.318.000 -0,68%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Mengolah tembakau jadi kretek sudah warisan budaya


Selasa, 26 April 2016 / 17:14 WIB
Mengolah tembakau jadi kretek sudah warisan budaya


Sumber: TribunNews.com | Editor: Hendra Gunawan

JAKARTA. Pengajar Sekolah Vokasi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Ghifari Yuristiadhi, memberikan komentarnya terkait pernyataan LSM RAYA Indonesia (Rumah Kajian dan Advokasi Kerakyatan) yang menyebut rokok kretek bukan merupakan warisan budaya Indonesia.

Menurut Ghifari, peneliti RAYA Indonesia tidak detail menganalisis dalam dua hal. Pertama, LSM itu tidak punya bacaan yang luas sehingga tidak mengetahui bahwa ada tembakau yang varietasnya dari India dan Amerika Selatan, namun juga ada varietas lokal.

“Mereka perlu jalan-jalan juga ke Candi Borobudur untuk melihat relief yang menunjukkan bahwa tradisi konsumsi tembakau sudah ada sejak masa klasik di Nusantara. Jika Borobudur berdiri sekitar abad ke-8, maka tradisi konsumsi tembakau sudah ada sejak zaman itu. Dan, jauh lebih awal dari kedatangan Portugis di abad ke-15,” jelasnya, melalui keterangan tertulis di Jakarta, Minggu (24/4).

Kedua, lanjut dia, konsep kepusakaan tidak hanya dilihat dari asal, namun dalam buku Use of Heritage (2006) bahwa kepusakaan dilihat dari materialitas, usia, estetika, dan sifat monumental.

Dia menegaskan, yang dikatakan sebagai warisan budaya bukan tembakaunya, tetapi tradisi mengolah tembakau menjadi kretek. “Dalam konteks ini, LSM Raya Indonesia sepertinya kurang membaca referensi yang luas dan punya landasan yang kuat dalam berpendapat,” tandasnya.

Ketiga, LSM tersebut juga dinilai tidak memahami konsep pewarisan budaya. Dijelaskannya, jika membuka 7 unsur kebudayaan, maka diketahui bahwa sistem teknologi dan sistem pencaharian menjadi bagian di sana.

Hadirnya kretek sejak awal abad 20 sebagai sebuah temuan yang origin dari seorang bumiputera bernama Haji Djamhari di Kudus dengan mencampur tembakau dan cengkeh sehingga menjadi solusi untuk sesak napas yang dirasakannya.

Temuan tersebut yang kemudian diadaptasi banyak orang, dan menjadi bagian dari sistem pencahariannya yang turun-temurun adalah bagian dari kebudayaan yang sebagaimana dimaksudkan oleh Koentjaraningrat.

“Sehingga jelas bahwa olahan tembakau dan cengkih tak terbantahkan sebagai sebuah warisan budaya setidaknya bagi masyarakat yang hidup berpuluh-puluh bahkan beratus tahun tergantung padanya,” pungkasnya. (Sanusi)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×