Reporter: Fahriyadi | Editor: Asnil Amri
JAKARTA. Dalam beberapa tahun terakhir pemerintah kerap menjalin perjanjian internasional baik bilateral maupun multilateral terkait liberalisasi perdagangan atau Free Trade Agreement (FTA).
Berbagai alasan mengemuka di balik FTA yang sering dilakukan Indonesia dengan negara seperti China, Korea Selatan, dan juga India.
"Jika tidak melakukan FTA, produk Indonesia tidak akan laku di luar negeri. Kami membuat FTA yang memberi manfaat bagi perkembangan industri itu," ujar Direktur Jenderal Kerjasama Industri Internasional Kementerian Perindustrian, Agus Tjahajana Wirakusumah, Rabu (6/11).
Agus mengaku, sering mendapat kritik dan masukan terkait liberalisasi yang terjadi saat ini sebagai biang keladi terjadinya defisit neraca berjalan dan neraca perdagangan secara keseluruhan.
Menurutnya beberapa kekeliruan yang terjadi terkait liberalisasi ini antara lain selama ini yang kerap diekspor RI adalah produk komoditas tanpa nilai tambah.
Namun, ia berdalih jika liberalisasi itu tidak dilakukan sekarang, ia pun tak tahu kapan hal itu dilakukan . Agus bilang, daya saing Indonesia memang masih rendah, tetapi jika menunggu semuanya siap, maka dipastikan Indonesia ketinggalan jauh dari negara lain.
Lebih jauh, ia menilai liberalisasi perdagangan harus disikapi secara cerdas. Ia memberi contoh, China dan India yang juga banyak melakukan FTA.
Kedua negara itu disebut banyk melakukan FTA dengan negara yang lebih lemah di sektor perdagangannya dari mereka. "Di satu sisi mereka tahu apa kelebihan mereka, kemudian memperkuat industri yang dinilai belum menjadi kelebihannya," kata Agus.
Agus bilang, cara tersebut perlu diterapkan dalam menyikapi FTA di Indonesia juga. Indonesia selalu dinilai menarik karena memiliki pasar yang besar dan potensial untuk berbagai industri.
Sementara itu, Ketua Komisi VI DPR, Airlangga Hartarto mengatakan, dampak liberalisasi perdagangan lewat perjanjian internasional akan dituangkan dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Perdagangan yang saat ini masih digodok oleh DPR.
"Di banyak negara perjanjian internasional terkait perdagangan itu memang harus persetujuan parlemen, Indonesia tidak melakukannya karena tidak punya UU Perdagangan," kata Airlangga.
Ia bilang UU acuan yang berkembang soal perjanjian internasional ini adalah beleid peninggalan kolonial Belanda.
Salah satu contoh upaya meredam dampak liberalisasi adalah membuat perundang-undangan tentang hilirisasi. Ia bilang ini semua cara ini adalah dalam rangka melindungi kepentingan dalam negeri.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News