Reporter: Umar Idris, Anastasia Lilin Y, Surtan PH Siahaan | Editor: Imanuel Alexander
Jakarta. Bulan November 2012 lalu menjadi salah satu catatan sejarah paling penting bagi pengelolaan industri minyak dan gas bumi (migas) di Indonesia. Saat itu, Mahkamah Konstitusi (MK) membubarkan Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu (BP) Migas.
MK menilai sebagai kepanjangan tangan negara, BP Migas mengurangi makna penguasaan negara atas sumber daya alam migas. Oleh karena itu, keberadaan BP Migas bertentangan dengan konstitusi yang menghendaki penguasaan negara yang membawa manfaat sebesar-besarnya bagi rakyat.
Selain itu, BP Migas sangat berpotensi menciptakan inefisiensi, dan diduga dalam praktiknya telah membuka peluang penyalahgunaan kekuasaan. Oleh karena itu, MK pun memutuskan, keberadaan BP Migas tidak konstitusional.
Artinya, MK mengabulkan permohonan uji materiil alias judicial review 42 pemohon, antara lain Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Laznah Siyasiyah Hizbut Tahrir Indonesia, PP Persatuan Ummat Islam, dan PP Syarikat Islam Indonesia. Ada juga pemohon perorangan, seperti Hasyim Muzadi, Komaruddin Hidayat, Fahmi Idris, Salahuddin Wahid, dan Hendri Yosodiningrat.
Agar tidak ada kekosongan dalam pengelolaan migas, pemerintah kemudian menetapkan lembaga baru bernama Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu (SKK) Migas. Lembaga ini tidak bertanggungjawab langsung ke Presiden seperti BP Migas, melainkan di bawah komando Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). “Sebetulnya tak ada berbedaan, cuma ganti nama,” kata Kurtubi, pengamat energi dari Center for Petroleum and Energy Economic Study.
Pri Agung, pengamat energi dari ReforMiner Institute, melihat pemerintah enggan untuk segera memperkuat lembaga baru di bidang pengelolaan migas pasca pembubaran BP Migas. “Padahal, lembaga seperti ini sering menjadi sapi perah, banyak sekali kepentingannya,” tutur Pri Agung.
Menurut Pri Agung, hanya ada sedikit perbedaan antara BP Migas dengan SKK Migas. Di SKK Migas terdapat Komite Pengawas. Komite ini ada untuk menjawab kritik bahwa BP Migas tidak ada yang mengawasi. Sayangnya, Komite Pengawas SKK Migas antara lain berisi Menteri ESDM dan Wakil Menteri Keuangan, sehingga tidak bisa melakukan pengawasan hingga ke tingkat operasional. “Mereka orang sibuk, tidak mungkin bisa benar-benar mengawasi,” tegas dia.
Seharusnya, Pri Agung mengatakan, Komite Pengawas SKK Migas diisi oleh orang-orang yang independen dan memiliki waktu untuk mengawasi hingga ke tingkat operasional. Misalnya, mengawasi tender, proses perpanjangan kontrak migas, dan proses penyusunan cost recovery.
Para pejabat di SKK Migas sebenarnya menyadari betul masalah ini. Maret 2013 lalu, SKK Migas mengungkapkan rencana mereka untuk melaksanakan keputusan MK. Lembaga ini bakal mengubah nama sekaligus mendirikan anak usaha bernama PT Upstream Petroleum Development Fund. Rencananya, usulan ini masuk dalam revisi Undang Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
Dalam perubahan UU Migas, SKK Migas mengusulkan agar mereka langsung di bawah Presiden, dan perubahan nama menjadi Perusahaan Pengelola Migas Nasional (PPMN). Cara ini dianggap sesuai dengan perintah MK yang mewajibkan SKK Migas beralih status menjadi perusahaan negara.
Bentuk anak usaha
Jika usulan SKK Migas itu mendapat lampu hijau dari DPR yang sedang menggodok revisi UU Migas, PPMN berwenang untuk melakukan pengawasan dan pengendalian sekaligus mengkaji rencana kerja atau plan of development (PoD) seluruh kontraktor migas. “Anak usaha yang kami bentuk bergerak di bidang finansial, nanti anak usaha itu akan membeli participating interest (PI) di sebuah blok migas,” kata Kepala Kelompok Kerja Kontrak-Kontrak Komersial SKK Migas Didi Setiarto seperti dikutip Harian KONTAN (29/4).
Pembentukan anak usaha ini bisa ditempuh dengan tiga alternatif. Pertama, bekerjasama dengan Pertamina untuk menitipkan dana investasi kepada anak usaha Pertamina, Pertamina Hulu Energi. Kedua, PPMN membentuk anak usaha patungan dengan Pertamina, masing-masing mendapat saham 50%. Ketiga, PPMN membentuk anak usaha sendiri.
Didi menjelaskan, dana untuk membeli beberapa blok migas yang akan dikelola anak usaha PPMN berasal dari petroleum fund yang saat ini juga sedang diusulkan untuk bisa masuk dalam revisi UU Migas.
Menurut Didi, nanti anak usaha PPMN tersebut bakal mengelola 10% dari dana penerimaan migas kita yang saat ini mencapai Rp 300 triliun per tahun. “Nantinya kami bisa dikatakan sebagai manajer investasi, konsep ini kami ambil dari Norwegia yang sukses menjalankannya,” ungkapnya.
Pri Agung memiliki pendapat yang hampir sama. Dia mengusulkan perubahan yang lebih halus, dengan menurunkan status SKK Migas menjadi perusahaan, bukan lembaga pemerintah seperti saat ini. “Nanti ada komisaris, pengawas independen, dan mereka semua ada di bawah menteri,” katanya.
Perusahaan tersebut posisinya sejajar dengan Pertamina. Alhasil, di sektor migas, pemerintah di satu tangan memiliki Pertamina, di tangan lain ada perusahaan jelmaan SKK Migas. “Dia mengurus apa yang tidak diurus Pertamina, termasuk investasi,” ujar Pri Agung.
Di samping itu, Pri Agung menambahkan, ada cara yang lebih progresif. “SKK Migas digabungkan dengan Pertamina Hulu Energi,” saran dia.
Dengan cara itu, eksplorasi blok migas dilakukan oleh Pertamina EP. Sedangkan Pertamina menjadi perusahaan yang bergerak di bidang hilir: distribusi dan niaga bahan bakar minyak (BBM) dan gas.
Ali Mundakir, juru bicara Pertamina, enggan menanggapi berbagai skenario ini, dengan alasan konflik kepentingan. Sementara Agus Amperianto, juru bicara Pertamina EP, bilang, apa pun keputusan pemerintah nanti, yang terpenting adalah keberpihakan pemerintah pada perusahaan nasional untuk melanjutkan pengelolaan blok migas. “Terserah mau pakai sistem Norwegia atau sistem yang mana, yang terpenting keberpihakannya,” pinta Agus.
***Sumber : KONTAN MINGGUAN 47 - XVII, 2013 Laporan Utama
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News