Reporter: Umar Idris, Anastasia Lilin Y, Asep Munazat Zatnika, Surtan PH Siahaan | Editor: Imanuel Alexander
Jakarta. Para eksekutif perusahaan yang bergerak di sektor minyak dan gas bumi (migas) mendadak irit bicara. Mereka menolak ngomong seputar kasus yang melibatkan Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu (SKK) Migas Rudi Rubiandini. “Jangan, nanti banyak yang salah paham dengan pernyataan kami,” kilah seorang wakil direktur di perusahaan migas nasional.
Kalaupun mau berbicara, mereka menolak identitas lengkapnya dibuka. “Sekarang isunya liar banget, ke mana-mana,” tutur seorang eksekutif di perusahaan migas asing.
Penangkapan Rudi memang menjadi momok bagi pemerintah dan industri migas. Sejak kasus itu mencuat, sorotan masyarakat tertuju pada SKK Migas dan para pelaku migas. Sebagai penguasa di sektor migas, lembaga pengganti Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu (BP) Migas ini diduga menjadi tempatnya duit panas dari pelaku usaha di sektor migas.
Peredaran bisnis di sektor migas di Indonesia memang sungguh aduhai. Diperkirakan setiap tahun ada sekitar Rp 500 triliun dana migas yang berasal dari biaya produksi dan hasil penjualan produksi migas. Jumlah ini berasal dari penerimaan negara sektor migas yang rata-rata sekitar Rp 250 triliun per tahun. “Penerimaan negara itu sekitar 50%, jadi total bisnisnya sekitar Rp 500 triliun per tahun,” tutur Pri Agung Rakhmanto, pengamat energi dari ReforMiner Institute.
Dari ratusan triliun itu, melihat kasus yang menimpa Rudi, tentu ada sejumlah dana yang berubah menjadi uang panas. Berapa jumlahnya, sulit dipastikan. Namun sebagai acuan, lihat saja hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang dilansir April 2013 lalu. Lembaga tinggi negara ini menemukan ratusan kasus pelanggaran yang dilakukan kontraktor migas selama 2012 sehingga berpotensi menimbulkan kerugian negara sebesar Rp 1,64 triliun.
Contohnya, sebanyak 50 kasus terjadi karena SKK Migas salah menghitung bagi hasil dengan potensi kerugian negara sebanyak Rp 372,48 miliar, lalu keterlambatan pembayaran bagi hasil yang membuat negara bisa rugi Rp 312 miliar.
BPK juga menemukan pengelolaan keuangan SKK Migas yang tak sesuai peraturan. Misalnya, pembayaran biaya operasional kontraktor yang harus dikembalikan oleh negara (cost recovery) dan biaya SKK Migas total Rp 1,6 triliun tidak melalui mekanisme APBN.
Temuan tersebut tak terlalu mengherankan. Sebab, banyak celah penyelewengan di tubuh SKK Migas. Celah ini terjadi sejak lembaga itu masih bernama BP Migas, mulai 2002 hingga 2012. Saat berubah menjadi SKK Migas, sejatinya celah itu tidak kunjung ditutup karena perubahan menjadi SKK Migas hanya perubahan nama. Fungsi dan wewenang SKK Migas masih sama dengan BP Migas.
Ada tiga celah
Menurut Kurtubi, pengamat energi dari Center for Petroleum and Energy Economic Study, ada tiga wewenang SKK Migas yang amat berpotensi menimbulkan penyelewengan. Pertama, pemberian rekomendasi kepada kontraktor migas baru di sebuah blok yang dilelang. “Juga rekomendasi untuk blok migas yang telah habis masa kontraknya,” ujarnya.
Dalam setiap pemberian hak pengelolaan blok migas maupun perpanjangan kontrak pengelolaan blok migas, SKK Migas menyampaikan rekomendasi kepada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Hak pengelolaan tersebut dikeluarkan oleh Kementerian ESDM, namun biasanya selalu sesuai dengan rekomendasi SKK Migas. “Rekomendasinya sakti,” kata Pri Agung.
Dalam beberapa kasus, faktanya keputusan perpanjangan blok migas maupun pemberian hak pengelolaan kepada kontraktor baru sampai pula ke meja Presiden. Pri Agung bilang, dari sisi aturan, Presiden tidak terlibat, tapi kenyataannya perusahaan migas sering datang melobi Presiden. “Di negara mana pun, meskipun di dalam peraturan tidak terlibat, pengaruh Presiden sangat besar,” ujarnya.
Kini, publik sedang menunggu keputusan SKK Migas dan Kementerian ESDM seputar pengelolaan Blok Mahakam di Kalimantan Timur. Sejak 1967, blok tersebut dikelola oleh Total E&P, perusahaan migas asal Prancis. Setelah 30 tahun, pada 1997 hak pengelolaan Total diperpanjang oleh pemerintah. Di 2017, hak pengelolaan Total di Blok Mahakam berakhir sehingga dikembalikan ke negara. “Tapi, pemerintah dan SKK Migas cenderung memperpanjang lagi untuk Total,” kata Kurtubi.
Celah kedua, dalam memutuskan nilai cost recovery. Keterlibatan SKK Migas terjadi sejak proses perencanaan cost recovery hingga pelaksanaan tender untuk pengadaan barang dan jasa yang masuk dalam cost recovery. “Termasuk saat kami mengklaim biaya operasi,” tambah Agus Amperianto, juru bicara Pertamina EP.
Masalahnya, nilai cost recovery setiap tahun cenderung naik, sebaliknya produksi migas cenderung turun. Dengan kata lain, negara setiap tahun harus merogoh kocek lebih dalam untuk mengembalikan biaya produksi yang dikeluarkan kontraktor migas, sedang penerimaan negara dari hasil produksi migas tidak kunjung naik.
Pada tahun 2011, realisasi cost recovery sebesar US$ 15,5 miliar. Di tahun 2012, turun tipis menjadi US$ 15,16 miliar. Pada 2013, diperkirakan realisasinya sebesar US$ 15,5 miliar, dan di 2014 akan meningkat 13,5% menjadi US$ 16,5 miliar hingga sekitar US$ 17,6 miliar.
Sebaliknya, realisasi produksi minyak siap jual alias lifting minyak dari tahun ke tahun terus turun. Pada 2011, lifting mencapai 902.000 barel per hari (bph), tapi 2012 turun menjadi 870.000 bph. Dan tahun ini, pemerintah cuma berharap lifting sebesar 840.000 bph.
Nilai cost recovery cenderung naik karena SKK Migas meloloskan begitu saja rencana yang diajukan para kontraktor migas. Banyak pos pengeluaran yang seharusnya tidak dibebankan kepada negara dalam skema cost recovery, seperti biaya untuk kegiatan sosial perusahaan atau corporate social responsibility (CSR) dan mobil dinas para eksekutif perusahaan migas. “Kami juga bisa memasukkan biaya untuk kegiatan divisi komunikasi, namun tidak semuanya,” ungkap eksekutif di perusahaan migas asing.
Alhasil, selama periode 2010-2012, BPK menemukan biaya yang semestinya tidak dibebankan ke dalam cost recovery mencapai US$ 221,5 juta atau setara Rp 2,21 triliun.
Tapi, kontraktor migas memiliki penjelasan yang berbeda tentang proses penetapan cost recovery. “Kami tidak pernah melakukan bargaining, ada bukti notulensinya, kok,” tutur Agus Amperianto.
Tender paling rawan.
Malah, Agus bilang, SKK Migas selalu meminta biaya cost recovery dari Pertamina EP diturunkan, namun target produksinya tetap. “Kami diminta menggunakan alat-alat produksi yang masih bisa dimaksimalkan,” terang Agus.
Sayang, Chevron Pacific Indonesia, kontraktor migas dengan produksi terbesar di Indonesia, enggan berbicara banyak seputar SKK Migas. “Saya tidak bisa memberikan penjelasan tentang apa yang terjadi di SKK Migas,” kata Yanto Sianipar, juru bicara Chevron.
Begitu juga dengan ExxonMobil Indonesia, kontraktor migas asing besar lainnya. “Saya hanya berharap apa yang terjadi di SKK Migas tidak mengganggu investasi migas di Indonesia,” pinta Erwin Maryoto, Vice President Public and Government Affair ExxonMobil.
Celah penyimpangan ketiga, dalam penunjukan perusahaan yang akan menjual dan mengirimkan hasil produksi migas yang menjadi jatah pemerintah dari blok migas tertentu. Di sini lah Rudi tertangkap tangan lantaran diduga menerima suap dari salah satu peserta tender penjualan kondensat bagian negara dari Lapangan Senipah, di Kalimantan Timur.
Sebetulnya, jumlah uang panasnya tidak sebesar pada proses perpanjangan dan pemberian izin pengelolaan blok migas baru. “Kalau perpanjangan saya yakin lebih besar lagi, bisa jutaan dollar, tidak cuma ratusan ribu,” ungkap Kurtubi.
Dan sebenarnya, masih banyak celah-celah penyelewengan di SKK Migas. Cuma yang paling rawan, menurut Harry Budiharjo, pengamat energi dari UPN Veteran Yogyakarta, dalam proses tender blok migas. “Orang asing, kan, tidak tahu mengenai wilayah yang mereka incar,” ujarnya.
Walhasil, mereka tentu harus mencari informasi ke orang-orang yang tahu mengenai wilayah tersebut. Tentu saja, ada imbalan bagi yang memberikan informasi. Dalam tender migas, memang ada penawaran jasa data. Data itu diperoleh dari rekam jejak kontraktor yang pernah melakukan eksplorasi dan gagal. Setiap kontraktor yang gagal harus mengembalikan data eksplorasi ke SKK Migas. Nah, data itu yang kemudian dimanfaatkan. “Data itu rawan kebocoran,” kata Harry.
Celah lainnya, Firdaus Ilyas, Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW), menambahkan, ada di penetapan harga jual migas jatah pemerintah. “Perhitungan harganya tidak transparan,” ujar dia.
Menyadari semua mata masyarakat kini sedang tertuju ke SKK Migas, lembaga itu lagi melakukan bersih-bersih. Sekretaris SKK Migas Gde Pradnyana mengatakan, instansinya ke depan akan lebih korektif dan melakukan evaluasi menyeluruh. “Kami siap menjalankan lima instruksi Komisi Pengawas SKK Migas,” tutur Gde.
Kelima instruksi tersebut, pertama, mendukung sepenuhnya upaya KPK menyelesaikan kasus hukum Rudi. Kedua, SKK Migas melakukan langkah apa pun dalam rangka reformasi birokrasi di internal dan memastikan adanya tata kelola yang baik, efisien, efektif, transparan, akuntabel, bebas KKN.
Ketiga, menjaga tata kelola dengan menjalankan proses bisnis sesuai peraturan perundangan. Keempat, pegawai dan pejabat SKK Migas memegang teguh kode etik, profesionalisme, dan fakta integritas dalam menjalankan proses bisnis migas. Kelima, menelaah seluruh proses bisnis SKK Migas lewat kerjasama dengan institusi, seperti KPK serta BPK.
Akankah celah rawan korupsi akan langsung tertutup?
***Sumber : KONTAN MINGGUAN 47 - XVII, 2013 Laporan Utama
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News