Reporter: Siti Masitoh | Editor: Noverius Laoli
Sejalan dengan itu, kondisi kredit perbankan pun belum terakselerasi sesuai harapan, sementara dana kredit yang sudah disetujui tetapi belum ditarik (undisbursed loan) masih tinggi.
Hal ini, lanjutnya, menandakan ketersediaan pembiayaan ada, namun hambatannya adalah cost of fund yang masih mahal serta minat investasi yang belum pulih.
“Dalam situasi ini, mendorong penurunan cost of fund/biaya dana melalui pemangkasan suku bunga adalah obat yang tepat untuk menggerakkan penyaluran kredit dan pembiayaan,” kata Josua.
Baca Juga: Bank Indonesia Pangkas BI Rate 25 bps Jadi 5%
Meski demikian, Josua menilai, kehati-hatian tetap perlu karena ada tiga sumber risiko. Pertama, tekanan harga pangan ketika suplai terganggu atau permintaan meningkat bisa menggerus ruang pelonggaran.
Kedua, dorongan fiskal pro-pertumbuhan, termasuk penempatan dana pemerintah di bank untuk menambah likuiditas, berpotensi menambah tekanan harga bila tidak diimbangi peningkatan pasokan; dampaknya ke inflasi kami perkirakan terbatas namun nyata.
Ketiga, ketidakpastian regulasi sektor keuangan dapat mempengaruhi persepsi pasar dan aliran modal. Maka, kata Josua, jalurnya bukan pelonggaran agresif, melainkan penyesuaian bertahap yang selalu menimbang stabilitas rupiah dan dinamika inflasi aktual.
Baca Juga: Sudah Dipangkas 5 Kali, Begini Potensi Penurunan BI-Rate di Sisa Tahun 2025
Ke depan, Josua melihat konsistensi BI menjaga rupiah, kelanjutan operasi moneter yang pro-pasar, dan sinergi dengan kebijakan fiskal menjadi kunci agar manfaat pemangkasan benar-benar mengalir ke dunia usaha dan rumah tangga tanpa mengorbankan stabilitas perekonomian yang sudah dibangun.
Selanjutnya: Laba Bersih Sawit Sumbermas Sarana (SSMS) Melesat 80,81% di Semester I-2025
Menarik Dibaca: 7 Olahraga untuk Mengontrol Gula Darah Penderita Diabetes, dari Ringan hingga Berat
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News