Reporter: Margareta Engge Kharismawati | Editor: Uji Agung Santosa
JAKARTA. Siapa bilang pelemahan nilai tukar rupiah selalu menguntungkan eksportir dan memperbesar devisa? Jika melihat tren dan data yang ada, sejak tahun 2012, Indonesia sudah kehilangan momentum mengail gain dari pelemahan rupiah. Sebab, saat rupiah melemah, ekspor Indonesia justru dalam tren turun.
Alhasil, dalam situasi seperti itu, agaknya rupiah yang kuat lebih membawa banyak manfaat ketimbang rupiah yang lemah. Sayang, harapan itu menjauh. Sebab, berdasarkan kurs tengah Bank Indonesia, Rabu (22/7), rupiah kembali melemah 0,29% terhadap dollar AS menjadi 13.368. Sejak awal tahun, rupiah sudah melemah lebih dari 5%.
Toh, menurut catatan BI, nilai rupiah saat ini masih di bawah nilai keekonomiannya (under value) sehingga diklaim masih menguntungkan bagi eksportir. Gubernur BI Agus Martowardojo menyebutkan, saat ini posisi Real Exchange Rate (RER) Indonesia di bawah level 100. Artinya, karena rupiah di bawah nilai keekonomiannya, eksportir Indonesia bisa menikmati gain dari ekspor.
Sekali lagi, momentum dan argumentasi tersebut sudah usang. Sebab, permintaan ekspor dan harga komoditas di pasar internasional tengah lesu. Alhasil, "Indonesia tidak mendapatkan manfaat dari pelemahan rupiah karena di saat yang sama ekspornya turun," kata Berly Martawardaya, ekonom Universitas Indonesia, kemarin.
Ekonom Bank Permata Josua Pardede berkeyakinan bahwa depresiasi rupiah saat ini tidak banyak membantu mendorong laju ekspor, utamanya ekspor produk manufaktur. Penyebabnya, sejumlah produsen dan pabrikan yang berorientasi ke pasar ekspor, banyak menggunakan bahan baku impor. Pelemahan rupiah justru merugikan mereka karena harus membayar mahal bahan bakunya.
Oleh karena itu, Josua memperkirakan, ekspor Indonesia masih berpeluang tertekan. Selain menurunnya permintaan dari pasar internasional serta penurunan harga komoditas dunia, pelemahan rupiah juga turut mempengaruhi secara tak langsung. Produsen dan eksportir yang menggunakan bahan baku impor, mengerem produksi demi efisiensi. "Inilah yang menjadi alasan mengapa rupiah yang melemah belum menjadi insentif bagi eksportir," kata Josua.
Josua memperkirakan, ke depan rupiah masih akan berpeluang melemah. Sebab, pasar masih mencermati rencana kenaikan suku bunga bank sentral AS (The Fed). Potensi pelemahan ini harus benar-benar diwaspadai.
Pelaksana tugas Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Suahasil Nazara menilai, pelambatan ekonomi mitra dagang Indonesia lebih dominan sebagai penyebab melambatnya ekspor Indonesia. "Permintaan ekspor turun, ekspor kita sulit naik," tandasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News