kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   0   0,00%
  • USD/IDR 16.200   0,00   0,00%
  • IDX 7.066   -30,70   -0,43%
  • KOMPAS100 1.055   -6,75   -0,64%
  • LQ45 830   -5,26   -0,63%
  • ISSI 215   0,27   0,12%
  • IDX30 424   -2,36   -0,55%
  • IDXHIDIV20 513   -0,30   -0,06%
  • IDX80 120   -0,79   -0,65%
  • IDXV30 124   -1,30   -1,04%
  • IDXQ30 142   -0,32   -0,23%

Luhut Klaim Big Data Penundaan Pemilu, Pakar Siber Sebut Mustahil & Beberkan Buktinya


Rabu, 13 April 2022 / 22:17 WIB
Luhut Klaim Big Data Penundaan Pemilu, Pakar Siber Sebut Mustahil & Beberkan Buktinya
ILUSTRASI. Menkomarves Luhut Binsar Pandjaitan dalam konferensi pers Kick-Off Digital Economy Working Group G20, Selasa (15/3) di Jakarta.


Reporter: Ahmad Febrian | Editor: Ahmad Febrian

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Presiden Joko Widodo baru saja menegaskan, pemilu tidak ditunda. Tetap berlangsung pada 14 Februari 2024.Hal ini sekaligus menjawab polemik penundaan pemilu yang muncul setelah klaim Menko Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan, 110 juta masyarakat menginginkan penundaan pemilu, diketahui lewat big data.

Sampai sekarang Luhut belum membuka data tersebut. Padahal banyak pihak mendorong agar data tersebut dibuka. Termasuk ketika bertemu mahasiswa Universitas Indonesia pada Selasa (12/4)., 

Terkait polemik itu, pakar keamanan siber Pratama Persadha menjelaskan, harus jelas proses bagaimana dan darimana data ini diambil. Sehingga tidak menimbulkan polemik di masyarakat.

Secara teknis, ada banyak cara mengetahui perbincangan publik di media sosial atau platform internet lain. “Karena itu, kita perlu bertanya 110 juta yang disampaikan Pak Luhut ini mengambil data dari platform apa dan bagaimana metodologinya. Perlu disampaikan ke publik, agar kita bisa menilai sejauh mana, sekaligus membuka ruang diskusi,” terang Chairman Lembaga Riset Keamanan Siber  Communication and Information System Security Research Center (CISSReC) itu, dalam keterangan tertulis yang diterima Kontan.co.id, Selasa (12/4). .

Pratama menekankan, harus jelas sumber data dari pembicaraan masyarakat ini. Misalnya bila mengambil dari Twitter, karena pemakai aktif twitter di Indonesia kini hanya di angka 15 jutaan saja. Itupun masih banyak akun-akun anonim. Jadi tidak mungkin data 110 juta tersebut berasal dari Twitter.

Bila mengambil dari Twitter ini jelas tidak cukup, bahkan dari hasil riset CISSReC menggunakan Open Source Intelligence (OSINT) akun Twitter yang membicarakan soal perpanjangan jabatan dan 3 kali periode di kisaran 117.746 (Tweet, Reply, Retweet) dan mencapai 11.868 pemberitaan online.

Dari data keduanya diketahui yang kontra penundaan pemilu pada Twitter sebesar 83,6% dan pro 16,4%. Sedangkan pada media online dengan kontra sebesar 76,9% dan pro 23,1%. "Dari data ini saja sudah terlihat jelas lebih banyak yang menolak penundaan pemilu,” tegas Pratama.

Data tersebut diambil dan dianalisis saat setelah ada statemen Luhut, pada periode analisis tanggal 15 Februari sampai dengan 15 Maret 2022. Dengan sejumlah tokoh dan organisasi yang pro dan kontra.

Tokoh kontra penundaan pemilu yang paling banyak terdapat pada artikel berita yaitu Agus Harimurti Ketum Partai Demokrat sebanyak 1420. Disusul Surya Paloh Ketum Nasdem sebanyak 555. Lalu tokoh pro penundaan pemilu yang terbanyak yaitu Muhaimin Iskandar 3.892 artikel berita, diikuti Zulkifli Hasan Ketum PAN.

Ada juga 10 organisasi yang pro penundaan pemilu seperti PKB, Golkar, dan Kemenkomarves. Lalu yang kontra sebanyak 71 organisasi yaitu PPP, PDIP, LSI (Lembaga Survei Indonesia), Partai Demokrat, Muhammadiyah, dan lainnya.

Berbeda bila 110 juta ini mengambil pembicaraan dari Facebook, Instagram dan TikTok, jpemakainya memang sangat banyak. FB di Indonesia pemakai bisa jadi lebih dari 130 juta, Instagram sudah hampir menembus 100 juta pemakai, belum lagi TikTok yang pemakainya bertambah dengan cepat di Indonesia.

“Namun tidak semuanya membicarakan penundaan pemilu, banyak yang tidak perduli. Lebih banyak membicarakan hal yang lain,” terangnya.

Jadi sumber pengambilan data ini harus jelas. Bahkan menurut dia, untuk mengambil data ini dengan survei juga hal yang sangat sulit bahkan mustahil meskipun dilakukan online. Karena harus sesuai dengan usia. Dan untuk mencapai angka 110 juta itu sangat sulit dilakukan.

Mengumpulkan dan membaca data Facebook, Instasgram dan WhatsApp tidak semudah di Twitter yang membuka application programming interface (API). Sehingga perlu persetujuan FB untuk pihak ketiga membaca data dan mengumpulkannya.

Hal ini mirip seperti yang dilakukan oleh Cambridge Analytica yang membaca kecenderungan pilihan warga Inggris menjelang Brexit dan pilihan warga Amerika Serikat (AS) menjelang pilpres 2016.

“Setelah ini bocor menjadi kasus besar. Pada akhirnya berujung pada semakin ketatnya perlindungan data pribadi di eropa dengan GDPR (General Data Protection Regulation),” jelasnya.

Jadi kemungkinan 110 juta data berasal dari Twitter sudah pasti tidak mungkin karena jumlah akun aktifnya di Indonesia sedikit. Yang memungkinkan adalah data tersebut diambil dari Grup Facebook, melihat berbagai peristiwa yang melibatkan Facebook di waktu lalu.

Namun pasca kasus Cambridge Analytica, Facebook sendiri sudah membatasi untuk tidak membagi data pada pihak ketiga dengan mudah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective Bedah Tuntas SP2DK dan Pemeriksaan Pajak (Bedah Kasus, Solusi dan Diskusi)

[X]
×