Reporter: Asep Munazat Zatnika | Editor: Sanny Cicilia
JAKARTA. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) tahun 2016 sudah disetujui untuk disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Namun, revisi anggaran dinilai belum cukup realistis dengan kondisi dan tantangan ekonomi saat ini.
Ekonom Samuel Asset Manajemen Lana Soelistyaningsih mengatakan, risiko terbesar datang di sisi penerimaan negara.
"Meskipun pemerintah sudah memasukan target penerimaan pajak dari kebijakan pengampunan pajak atau tax amnesty, potensi shortfall masih cukup besar," katanya, Selasa (28/6). Shortfall adalah selisih penerimaan negara dengan target yang ditetapkan.
Salah satunya karena asumsi pertumbuhan ekonomi yang dipatok masih terlalu optimis. Dalam APBN-P 2016 asumsi pertumbuhan ekonomi ditetapkan sebesar 5,2%, meski lebih rendah dari asumsi makro di APBN 2016 sebesar 5,3%.
Namun, Lana melihat jika melihat kondisi ekonomi saat ini baik global maupun faktor dalam negeri tekanan masih cukup besar. Apalagi jika melihat realisasi pertumbuhan ekonomi hanya 4,92% saja. "Saya memperkirakan untuk tumbuh di atas 5% saja masih cukup sulit," kata Lana, Selasa (28/6).
Nah, lebih rendahnya pertumbuhan ekonomi akan berdampak pada penerimaan. Lana berharap, pemerintah bisa mencari cara agar penerimaan negara bisa tercapai. Dalam APBN-P 2016 pemerintah mematok target penerimaan pajak sebesar Rp 1.347,78 triliun.
Target pajak itu terdiri dari Pajak Penghasilan (PPh) sebesar Rp 855,84 triliun, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Rp 474,23 triliun dan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Rp 17,71 triliun.
Jika penerimaan pajak terganggu, maka imbasnya terhadap belanja pemerintah yang harus dipangkas jika tidak mau defisit anggaran melebar. Dalam APBN-P 2016 ini pemerintah mematok target defisit anggaran sebesar 2,35% terhadap Produk DOmestik Bruto (PDB).
Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan, selain mendorong kebijakan tax amnesty, pemerintah juga melakukan ekstensifikasi dan intensifikasi penerimaan pajak untuk mencapai target penerimaan. Pemerintah juga akan membenahi sistem administrasi dan teknologi informasi perpajakan.
Pemerintah juga merasa yakin penerimaan akan lebih baik dari tahun, mengingat asumsi rata-rata harga minyak dalam negeri atau Indonesia Crude Price (ICP) sebesar US$ 40 per barrel. Jumlah itu lebih rendah dari target ICP dalam RAPBN-P yang sebesar US$ 35 per barrel. Meningkatnya angka ICP akan mendorong penerimaan pajak di sektor migas.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News