kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.526.000   0   0,00%
  • USD/IDR 16.240   -40,00   -0,25%
  • IDX 7.037   -29,18   -0,41%
  • KOMPAS100 1.050   -5,14   -0,49%
  • LQ45 825   -5,35   -0,64%
  • ISSI 214   -0,85   -0,40%
  • IDX30 423   -1,15   -0,27%
  • IDXHIDIV20 514   0,87   0,17%
  • IDX80 120   -0,69   -0,57%
  • IDXV30 125   1,36   1,09%
  • IDXQ30 142   0,26   0,18%

LIPI: Indonesia berjalan ke arah deindustrialisasi


Rabu, 22 Desember 2010 / 17:14 WIB
LIPI: Indonesia berjalan ke arah deindustrialisasi


Reporter: Irma Yani | Editor: Sanny Cicilia

JAKARTA. Pusat Penelitian Ekonomi (P2) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menghimbau pemerintah agar mewaspadai gejala deindustrialisasi. LIPI melihat, gejala menuju deindustrialisasi itu makin nyata terihat.

Widjaya Adi, Ketua tim P2 LIPI melihat, setidaknya ada tiga indikator yang menunjukkan mulai bergeraknya perekonomian nasional ke arah deindustrialisasi.
Inidkator pertamanya, tingkat penyerapan tenaga kerja ke sektor industri makin menurun. Menurutnya, fakta yang ada menunjukan efektifitas serapan tenaga kerja untuk sektor industri dalam negeri makin menurun."Jika dibandingkan dengan serapan tenaga kerja sektor lain seperti pertanian, pertambangan dan jasa, sangat jelas terlihat tren penurunannya," ucapnya, Rabu (22/12).

Berdasarkan catatan LIPI, pertumbuhan serapan tenaga kerja di sektor industri pada kurun waktu 1990-1999 mencapai 5%. Penurunan terlihat dengan persentase penyerapan tenaga kerja sektor industri pada kurun waktu 2000-2009 yang hanya 1,1%.

Sedangkan pertumbuhan penyerapan tenaga kerja sektor pertanian dalam waktu 2000-2009 tumbuh 1%, naik dibandingkan kurun waktu 1990-1999 yang berada di kisaran -1%.

Hal serupa pun terjadi pada sektor jasa. Pertumbuhan serapan tenaga kerja sektor jasa pada kurun waktu 1990-1999 mencapai 1,8% dan meningkat hingga menyentuh angka 3,2% pada kurun waktu 2000-2009."Jadi kalau tidak ada langkah kongret dari pemerintah sejak saat ini, maka penurunan serapan tenaga kerja akan terus terjadi," tegasnya.

Menurut Widjaya, kondisi tersebut sangat bertolak belakang dengan yang terjadi di negara maju yang lebih menunjukan pesatnya laju pertumbuhan serapan tenaga kerja sektor industri dibanding sektor primer.

Indikator kedua deindustrialisasi terlihat dari menurunnya kontribusi sektor industri terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Menurut Adi, jika dibandingkan dengan sektor primer, kontribusi sektor industri terhadap pertumbuhan ekonomi nasional terbilang masih sangat lemah."Besarnya kontribusi sektor primer ini merupakan ciri perekonomian menuju deindustrialisasi," tandasnya.

Diungkapkannya, kontribusi sektor jasa melesat jauh meninggalkan sektor pertanian, peternakan, kehutanan, perikanan atau industri. Jika kontribusi sektor jasa di tahun 2000 mencapai 37,5% di tahun 2000, di tahun 2009 kontribusinya mencapai 45% dari pertumbuhan ekonomi nasional.

Sektor industri pada tahun 2000 memberikan kontribusi 27,5% dan sekarang kontribusinya hanya sedikit diatas 25%.

Sedangkan kontribusi sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan mengalami pelambatan. Semula, pada tahun 2000 kontribusinya sebesar 15%. Angka ini menurut dan hanya mampu memberikan kontribusi 13-14% pada tahun 2009.

Indikator ketiga terlihat dari penurunan jumlah perusahaan yang bergerak di sektor industri."Sulit mengatakan Indonesia akan terbebas dari deindustrialisasi karena tren sudah kearah sana," ungkap Widjaya.

Widjaya bilang, belajar dari pengalaman tiga negara yang pernah mengalami deindustrialisasi, membutuhkan waktu lama untuk pemulihan. "Jepang itu butuh waktu 10 tahun untuk pemulihan, Amerika Serikat membutuhkan waktu 20 tahun, dan Inggris membutuhkan waktu 15 tahun," terangnya.

Sementara itu, Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Erwin Aksa mengatakan, gejala perekonomian menuju deindustrialisasi sudah mulai dirasakan pengusaha sejak lama.

Salah satu indikatornya adalah menurunnya daya saing produksi barang dalam negeri di pasar internasional. Beberapa penyebabnya,pengusaha kekurangan pasokan bahan baku sehingga produksi menjadi terhambat dan mahalnya biaya logistik. "Desindustrialisasi sudah bukan barang baru lagi," terangnya.

Kondisi yang tidak menguntungkan ini ditambah makin kuatnya sektor industri manufaktur China. Padahal, Erwin yakin, sektor industri paling potensial dalam menyerap tenaga kerja.

"Solusinya bagi pemerintah adalah perbaikan kebijakan dibidang energi dan infrastruktur," kata Erwin. Perbaikan kebijakan bidang energi menyangkut upaya meminimalisasi ekspor bahan baku khususnya gas dan batu bara. Sementara di bidang infrastruktur, kebijakan perlu diarahkan untuk pembenahan dan penyediaan infrastruktur yang berkualitas untuk memperlancar arus perdagangan.

Menurut Erwin, pertumbuhan sektor industri tahun depan tidak jauh berbeda dengan tahun sebelumnya. Setiap tahunnya, target pertumbuhan yang ditetapkan sebesar 5%. Sektor industri yang diprediksi akan berkembang adalah sektor industri pertanian, elektronik, dan otomotif. "Kalau yang padat karya masih sulit dan kita kehilangan kompetisi sektor ini," tutupnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

[X]
×