Reporter: Bidara Pink | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Cadangan mata uang asing global turun drastis. Mengutip dari Bloomberg, cadangan mata uang asing telah turun sekitar US$ 1 triliun atau 7,8% di sepanjang tahun berjalan menjadi US$ 12 triliun. Ini merupakan penurunan terdalam sejak Bloomberg mulai mengumpulkan data pada 2003.
Kepala Penelitian Valuta Asing G10 Standard Chartered Steven Englander mengungkapkan, kondisi penurunan likuiditas ini didorong oleh perubahan nilai tukar. Salah satunya, akibat penguatan dolar Amrika Serikat (AS) terhadap mata uang negara lain.
Selain itu, ada tekanan di pasar mata uang, yang memaksa makin banyak bank sentral untuk melakukan intervensi untuk menahan depresiasi mata uang mereka.
Ekonom Makroekonomi dan Pasar Keuangan LPEM FEB UI Teuku Riefky memandang, ketatnya likuiditas global ini memang sehubungan dengan langkah yang dilakukan bank-bank sentral dunia untuk mengetatkan kebijakan moneternya.
Baca Juga: BI Catat DPK Valas Perbankan Tumbuh 12,1% Jadi Rp 1.049,6 Triliun Per Agustus
Tentu, dampaknya akan berbeda antara satu negara dengan negara yang lain, termasuk Indonesia. “Kalau di Indonesia, dampaknya masih akan terjadi arus modal asing keluar. Sehingga, akan memengaruhi pergerakan nilai tukar rupiah,” tutur Riefky kepada Kontan.co.id, Minggu (9/10).
Beruntungnya, Indonesia masih memiliki cadangan devisa yang memadai. Meski, per September 2022, cadangan devisa nampak turun ke US$ 1308 miliar. Namun, ini masih setara pembiayaan 5,9 bulan impor atau 5,7 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah. Pun masih jauh berada di atas standard kecukupan internasional yang sekitar 3 bulan impor.
Selain itu, ekspor Indonesia masih berotot di tengah tingginya harga komoditas andalan ekspor Indonesia. Nah, negara-negara yang akan terpukul adalah mereka yang memiliki cadangan devisa sedikit, sektor riil yang tidak solid, serta ekspor yang lemah.
Sementara itu, Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual memang mengakui, likuiditas valas saat ini cenderung ketat. Namun, ia masih melihat kondisi positif di Indonesia mengingat nilai ekspor yang masih akan tinggi setidaknya hingga akhir tahun 2022.
Hanya saja, ini memang tak akan bertahan selamanya. Apalagi di tahun depan, ada bayangan resesi sehingga menghambat potensi permintaan ekspor dari Indonesia dan normalisasi harga komoditas. David mengimbau, otoritas getol dalam menjaga likuiditas valas dengan berbagai langkah.
Seperti, pertama, maksimal dalam menarik devisa hasil ekspor (DHE) untuk dibawa kembali ke dalam negeri. Ia mengapresiasi langkah pemerintah dan BI yang sudah tegas dalam memberikan sanksi bagi eksportir nakal yang tak membawa balik DHE.
Kedua, menjelang akhir tahun, pemerintah bisa melakukan front loading untuk penerbitan valas. Bahkan, termasuk perbankan bisa turun tangan dengan melakukan penerbitan global bond.
Baca Juga: Pekan Pertama Oktober 2022, Arus Modal Asing Masuk Rp 7,28 Triliun
Ketiga, untuk jangka menengah panjang adalah menambah negara-negara untuk menjadi mitra penggunaan mata uang lokal dalam kegiatan perdagangan dan investasi atau local currency settlement (LCS). Saat ini, Indonesia sudah memiliki kerja sama ini dengan negara Malaysia, Thailand, Jepang, dan China.
“Pelan-pelan, ini bisa mengurangi tekanan di dolar AS, karena akan ada diversifikasi valuta asing yang dipegang oleh Indonesia. Ini juga akan menjaga pergerakan nilai tukar rupiah,” terang David.
Menurut David, negara yang bisa diajak untuk kerja sama LCS antara lain Korea Selatan, negara Timur Tengah, Amerika Latin, maupun Arab Saudi. Atau yang terpenting, negara dengan hubungan dagang maupun investasi yang erat dengan Indonesia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News