Reporter: Melati Amaya Dori, Tedy Gumilar | Editor: Imanuel Alexander
Jakarta. Pepatah “badai pasti berlalu” yang tenar lantaran menjadi judul novel karangan Marga Tjoa sepertinya belum akan berlaku untuk industri consumer goods di Tanah Air. Meski terkenal tahan banting, namun tekanan dari sanasini membuat beban biaya industri produsen barang-barang untuk keperluan perorangan ini sulit dikendalikan. Tak jarang konsumen yang akhirnya harus ikut kelimpungan.
Berbagai sentimen negatif bertubi-tubi menghantam bisnis consumer goods. Mulai dari pelemahan nilai tukar rupiah hingga kenaikan tarif tenaga listrik (TTL), lalu hadangan lain yang sudah tampak di depan adalah kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi.
Meski pahit, Putri Kuswisnu Wardani, Presiden Direktur Mustika Ratu, memaklumi kenaikan harga BBM bersubsidi memang sulit terelakkan. Yang jelas, pihaknya pasti akan melakukan penyesuaian sebagai akibat dari kebijakan tersebut, termasuk menaikkan harga jual produk. Cuma ia belum bisa memastikan hal ini lantaran keputusan dan besaran kenaikan harga BBM bersubsidi belum diketok palu.
Namun, tanpa kenaikan harga BBM subsidi sekalipun, saat ini pengusaha sudah kewalahan. Terutama ketika mereka menghadapi dampak pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS). Maklum, masih banyak bahan baku industri barang konsumsi yang mesti diimpor. Ambil contoh bahan baku obat untuk industri farmasi, sekitar 95% diantaranya harus diimpor.
Begitu pula di sektor kosmetik, ada ketergantungan terhadap impor bahan baku. Industri pangan yang berbahan baku terigu juga begitu. Belum lagi industri yang butuh bahan baku lokal namun harganya menggunakan patokan dollar AS. “Contohnya kelapa sawit,” ujar Sancoyo Antarikso, Direktur dan Sekretaris Perusahaan PT Unilever Indonesia Tbk.
Tak cuma bahan baku yang bersifat pokok, depresiasi rupiah juga membuat beban bahan baku kemasan ikut naik. Imbasnya tak seragam, sebab setiap produk memiliki komponen biaya kemasan yang berbeda-beda. Snack Taro produksi PT Tiga Pilar Sejahtera Tbk, misalnya, memiliki komponen biaya kemasan yang lebih tinggi. Menurut
Sjambiri Lioe, Direktur Keuangan Tiga Pilar Sejahtera, komponen biaya material kemasan di produk ini bisa mencapai 50%. Adapun komponen biaya terigu hanya sekitar 24%–30%. “Setiap bahan baku naik 10%, gross margin kami akan tertekan 2%,” kata Sjambiri.
Menaikkan harga
Lantaran tak kuat menanggung beban dan tak ingin labanya banyak tergerus, sebagian perusahaan akhirnya memilih untuk menaikkan harga jual produknya. Ambil contoh Unilever yang selama tahun ini sudah dua kali menaikkan harga jual produknya.
Maret lalu, Unilever mengerek harga jual rata-rata atau average selling price (ASP) produknya sebesar 5%. Lalu, pada 15 September perusahaan yang menginduk ke Unilever NV itu kembali menaikkan harga jual produknya sekitar 5%. Sancoyo menuturkan, kenaikan harga produk hampir merata di seluruh produk, baik produk home and personal care maupun produk food and refreshment. Sebagai informasi, Unilever memiliki 14 kategori produk yang menyandang 39 merek. “Faktor lain seperti kenaikan tarif listrik memang ada pengaruhnya juga, tapi kecil,” kata Sancoyo.
Besarnya pengaruh nilai tukar rupiah lantaran sekitar 90% beban produsen pasta gigi bermerek Pepsodent dan teh kemasan Sari Wangi itu berasal dari pembelian bahan baku.Berdasar catatan KONTAN, dari total biaya produksi, 50%– 60% di antaranya berhubungan dengan fluktuasi nilai tukar. Langkah serupa juga ditempuh PT Mustika Ratu Tbk. Setelah 1,5 tahun tidak mengotakatik kebijakan harga, Juni lalu produsen kosmetik dan jamu itu terpaksa menaikkan harga jual produknya. Besaran kenaikan harganya bervariasi. Putri menyebut, rata-rata kenaikan harganya sekitar 7%.
Kebijakan ini terpaksa diambil lantaran seperti halnya perusahaan kosmetik lokal yang lain, Mustika Ratu juga sangat bergantung pada bahan baku impor. “Bahan impor sektor industri kosmetika mencapai 30%–40%,” ujar Putri. Perusahaan macam PT Indofood CBP Tbk juga ikut menaikkan harga jual produknya. Bulan Juli lalu, produk mi instan yang selama ini menjadi andalan anak usaha PT Indofood Sukses Makmur itu harga jualnya terkerek naik. Kenaikan berkisar antara 5%–6%.
Namun berbeda dengan Unilever yang tidak terlalu terpengaruh oleh kenaikan tarif listrik, Indofood justru sebaliknya. Franky Welirang, Direktur Indofood Sukses Makmur, menyebut, kenaikan ini lebih karena lonjakan beban seperti tarif listrik.
Ke depan, Franky belum memiliki rencana untuk menaikkan harga jual produk. Baik untuk produk mi instan maupun produk consumer goods lain. “Kalau suku bunga naik-turun kencang seperti yoyo di atas 2% dan harga komoditas pertanian naik tinggi, bukan tidak mungkin kami terpaksa menaikkan harga,” ujar Franky.
Lagipula, Indofood merasa cukup beruntung lantaran model bisnisnya yang terintegrasi. Hal ini membuat depresiasi rupiah yang membikin buntung di satu sisi malah membuahkan untung di sisi lain. Sekadar menyegarkan ingatan, saat ini Indofood mengimpor gandum yang menjadi bahan baku utama untuk berbagai produk unggulannya, termasuk mi instan. Acuan harga pembelian gandum menggunakan harga internasional.
Penjualan melambat menjadi risiko
Masalahnya, komposisi gandum dalam struktur biaya bahan baku produk-produk Indofood cukup besar, antara 70% hingga 75%. Alhasil, pelemahan rupiah membuat beban pokok penjualan membengkak. Cuma, untungnya, gandum tersebut diimpor dan diolah oleh anak usahanya sendiri, Bogasari.
Selain itu, secara konsolidasi Indofood diuntungkan oleh keberadaan unit bisnis agribisnis yang pendapatannya berbasis dollar AS, namun biaya produksinya dalam rupiah. Hasil produksi dua perusahaan perkebunan mereka, PT Salim Ivomas Pratama Tbk dan PT Perusahaan Perkebunan London Sumatra Indonesia Tbk, juga digunakan oleh sesama anak usaha Grup Salim.
Mengalihkan beban ke kantong konsumen bukannya strategi yang tanpa risiko. Apalagi dengan profil konsumen Indonesia yang terkenal sensitif terhadap harga. Salah satu risiko yang harus ditanggung produsen adalah penjualan mereka bakal melambat.
Cuma, seberapa besar tingkat sensitivitasnya, tergantung dari banyak hal. Salah satunya segmentasi pembeli yang disasar. Makin tinggi kelas ekonomi yang disasar, makin kecil pula dampaknya. “Beberapa produk mungkin hanya terkena dampak harian hingga mingguan. Sedangkan beberapa bisa bulanan,” kata Sancoyo.
Agar dampaknya tidak terlalu besar dan lama, para produsen pun memutar otak. Unilever paling tidak menempuh dua strategi untuk mempertahankan kinerja keuangannya, yaitu melakukan efisiensi dan menggenjot penjualan. Soal penghematan, sejatinya sudah dilakukan sejak lama. Misalnya, dengan memotong jumlah stok barang yang dipasarkan dan penghematan penggunaan listrik di kantor dan pabrik.
Di sisi penjualan, Unilever fokus menggenjot penjualan produk-produk yang memiliki margin tinggi. “Kami juga berusaha menghadirkan promosi gabungan yang cocok bagi konsumen,” kata Sancoyo.
Sementara Mustika Ratu mengaku telah lebih dulu menentukan besaran kenaikan harga masing-masing produk berdasarkan beban kenaikan biaya dan sensitivitas produk tersebut. “Karena kami hati-hati memilih kenaikan harga masing-masing produk, dan mengevaluasi sensitivitasnya, maka dampak ke penjualan hampir tidak ada,” klaim Putri.
Produk-produk yang lebih tahan terhadap kenaikan harga ini antara lain produk yang menyasar segmen konsumen menengah ke atas. Ambil contoh, produk-produk kosmetik dari merek Taman Sari Royal Heritage Spa dan Moor’s Professional Make Up. Efektivitas berbagai strategi ini tentu masih perlu diuji. Namun, berdasarkan pengalaman sebelum-sebelumnya, tak mudah bagi para pengusaha untuk memacu laju bisnisnya. Sebagai perbandingan, tahun lalu Unilever juga tiga kali menaikkan harga jual produk. Hingga Juni 2013, Unilever sudah menaikkan harga jual rata-rata 5%. Tapi, karena terus tertekan pelemahan rupiah dan kenaikan upah pekerja, manajemen kembali menaikkan harga jual rata-rata 2% pada Oktober 2013.
Dampaknya, kinerja keuangan Unilever masih bisa bertumbuh, meski melambat. Pendapatan perusahaan kala itu tumbuh 12,63%, lebih rendah ketimbang pertumbuhan tahun sebelumnya yang mencapai 16,32% . Seiring dengan itu, laba bersih perusahaan ini cuma naik 10,7%, jauh lebih rendah daripada tahun sebelumnya yang mencapai 16,34%. Nah, akibat serupa bukan tak mungkin kembali terulang, bukan?
Meski kinerja menurun, keleluasaan menaikkan harga ini seperti ini tidak bisa dinikmati oleh sembarang produsen. “Kemewahan” ini hanya bisa didapati oleh korporasi dengan penguasaan pasar dominan.
***Sumber : KONTAN MINGGUAN 01 - XIX, 2014 Laporan Utama
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News