kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45893,43   -4,59   -0.51%
  • EMAS1.308.000 -0,76%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Larangan Ekspor Minyak Goreng Dicabut, Pemerintah Diminta Lakukan 3 Hal Ini


Kamis, 19 Mei 2022 / 20:24 WIB
Larangan Ekspor Minyak Goreng Dicabut, Pemerintah Diminta Lakukan 3 Hal Ini
ILUSTRASI. Sejumlah truk pengangkut Tanda Buah Segar (TBS) kelapa sawit mengantre untuk pembongkaran. ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas/rwa.


Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Herlina Kartika Dewi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, pencabutan larangan ekspor CPO bukti bahwa kebijakan pengendalian harga minyak goreng lewat stop ekspor total seluruh produk CPO adalah kesalahan fatal.

Sebab, harga minyak goreng (migor) di level masyarakat masih tinggi, petani sawit dirugikan dengan harga tandan buah segar (TBS) yang anjlok karena oversupply CPO di dalam negeri.

Selain itu, kehilangan penerimaan negara lebih dari Rp 6 triliun, belum ditambah dengan tekanan pada sektor logistik -perkapalan yang berkaitan dengan aktivitas ekspor CPO. 
Kehilangan devisa sudah cukup tinggi imbas pelarangan ekspor CPO, yang mempengaruhi stabilitas sektor keuangan.

Bhima menyebut, pelemahan kurs rupiah terhadap dolar AS di pasar spot sebesar 3% dalam sebulan terakhir salah satunya disumbang dari pelarangan ekspor CPO dan turunannya.

Baca Juga: Keran Ekspor Minyak Goreng Dibuka Lagi, Ini Respons Gapki

“Collateral damage-nya sudah dirasakan ke berbagai sektor ekonomi. Harapannya kebijakan berbagai komoditas kedepannya tidak meniru pelarangan ekspor CPO yang tidak memiliki kajian matang. Cukup terakhir ada kebijakan proteksionisme yang eksesif seperti ini,” ujar Bhima dalam keterangan tertulis yang diterima Kontan.co.id, Kamis (19/5).

Bhima mengatakan, saat ini pemerintah perlu menatap ke depan pasca ekspor CPO dibuka. Yakni bagaimana pemerintah bisa mengendalikan harga minyak goreng yang acuannya adalah mekanisme pasar.

Pengusaha yang mengacu pada harga dipasar internasional dikhawatirkan menaikkan harga minyak goreng secara signifikan khususnya minyak goreng kemasan.

Selama aturan minyak goreng boleh mengacu pada mekanisme pasar maka harga yang saat ini rata-rata Rp 24.500 per liter dipasar tradisional bisa meningkat lebih tinggi.

“Ada tiga solusi yang sebaiknya dilakukan oleh pemerintah segera setelah pencabutan larangan ekspor dilakukan,” ungkap Bhima.

Pertama, menugaskan Bulog dan memberi kewenangan untuk ambil alih setidaknya 40% dari total distribusi minyak goreng. Selama ini mekanisme pasar gagal mengatur marjin yang dinikmati para distributor minyak goreng.

“Bulog nantinya membeli dari produsen minyak goreng dengan harga wajar, dan melakukan operasi pasar atau menjual sampai ke pasar tradisional,” ucap Bhima.

Baca Juga: Jokowi Minta Aparat Usut Tuntas Dugaan Pelanggaran dan Penyelewengan Minyak Goreng

Kedua, menghapus kebijakan subsidi ke minyak goreng curah, dan ganti dengan minyak goreng kemasan sederhana. Sebab, pengawasan minyak goreng kemasan jauh lebih mudah dibanding curah.

Ketiga, jika masalahnya adalah sisi pasokan bahan baku didalam negeri maka program biodisel harus mengalah. Target biodisel harus segera direvisi, dan fokuskan dulu untuk penuhi kebutuhan minyak goreng.

Bhima menilai, dalam menerapkan 3 kebijakan tersebut butuh penyegaran pejabat pelaksana, salah satunya melalui reshuffle menteri yang selama ini gagal menyelesaikan masalah minyak goreng.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Practical Business Acumen Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×