kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.539.000   0   0,00%
  • USD/IDR 15.794   1,00   0,01%
  • IDX 7.460   -19,91   -0,27%
  • KOMPAS100 1.153   -1,43   -0,12%
  • LQ45 914   0,41   0,05%
  • ISSI 225   -1,12   -0,49%
  • IDX30 472   0,95   0,20%
  • IDXHIDIV20 569   1,36   0,24%
  • IDX80 132   0,02   0,01%
  • IDXV30 140   0,92   0,66%
  • IDXQ30 157   0,24   0,16%

KSPI: Pemerintah masih berpihak pada upah murah


Selasa, 05 November 2013 / 17:58 WIB
KSPI: Pemerintah masih berpihak pada upah murah
ILUSTRASI. Layanan?JakOne Pay dari Bank DKI. Upaya Perbankan Terus Menjaga Likuiditas di Tengah Kenaikan GWM.


Reporter: Dikky Setiawan | Editor: Dikky Setiawan

JAKARTA. Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal, menanggapi pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) soal upah murah buruh.

Menurut Said, pernyataan SBY yang menyebut bahwa masa upah murah buruh di Indonesia telah selesai, sangat bertolak belakang dengan fakta yang ada di lapangan.

“Pemerintah masih berpihak pada kebijakan upah murah, termasuk Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo yang menetapkan upah minimum provinsi DKI sebesar Rp 2.441.301 per bulan,” kata Said kepada KONTAN, Selasa (5/11).

Ada sejumlah alasan, Said menilai bahwa pemerintah masih berpihak terhadap kebijakan upah murah pekerja.

Pertama, sangat tidak rasional dengan UMP tahun 2014 yang sebesar Rp 2,4 juta itu dengan kondisi kebutuhan buruh di Jakarta.

Dalam sebulan, kata Said, buruh mengeluarkan biaya hidup untuk sewa rumah Rp 600.000 per bulan. Lalu, untuk ongkos transportasi dari rumah ke pabrik dan kegiatan lainnya Rp 500.000 per bulan. Sementara, untuk biaya makan sehari-hari sekitar Rp 990.000 per bulan.

Alhasil, dengan sejumlah biaya pengeluaran itu, sisa uang yang diterima buruh dari upah bekerja tersisa tinggal Rp 250.000 (US$ 25) untuk hidup di Jakarta.

Fakta itulah, yang menurut Said, Gubernur Jokowi dan Presiden SBY masih berpihak kepada kebijakan upah murah.

Perbandingan UMP di negara lain

Kedua, sambung Said, UMP DKI Jakarta yang sebesar Rp 2,4 juta tadi, jauh lebih rendah dibandingkan upah buruh di Ibokota negara lainnya di kawasan Asia Tenggara.

Said mencontohkan, UMP tahun 2013 di Ibukota Thailand, yakni Bangkok sudah mencapai Rp 2,8 juta per bulan. Bahkan, di Manila, Ibukota Filipina, UMP 2013 mencapai Rp 3,2 juta.

“UMP di kedua negara itu hanya sedikit lebih tinggi dari upah minimum di Kamboja dan Vietnam yang baru 5 tahun investasi asing berkembang di sana,” imbuh dia.

Kondisi itu berbeda dengan Indonesia, dimana investasi asing di wilayah Jakarta dan sekitarnya sudah masuk sejak 43 tahun lalu, sejak terbitnya UU PMA tahun 1970.

“Fakta ini menjelaskan, selama 43 tahun investasi asing hadir di Indonesia, hingga saat ini buruh tetap miskin,” tegas Said.

Ketiga, penetapan UMP DKI sebesar Rp 2.441.301 per bulan, diputuskan berdasarkan komponen hidup layak (KHL) tahun 2013 senilai Rp 2.299.806.

Padahal, anggota dewan pengupahan dari unsur buruh sudah mengusulkan penetapan KHL harus menggunakan KHL tahun 2014 sebesar Rp 2.767.320. Sebab, KHL itu sebagai acuan untuk penetapan UMP tahun 2014.

Namun, kata Said, Gubernur Jokowi sama sekali tidak mau mempertimbangkan usulan buruh yang rasional.

“Ini berarti, buruh di DKI membayar biaya hidup di tahun depan dengan gaji di tahun sekarang. Jelas sekali, kebijakan upah murah ini akan terus memiskinkan buruh,” kata Said.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Survei KG Media

TERBARU
Kontan Academy
Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek) Mengenal Pentingnya Sustainability Reporting

[X]
×