Reporter: Ferry Hidayat | Editor: Dikky Setiawan
JAKARTA. Ketua DPR Marzuki Alie membantah telah menerima uang sebesar Rp 250 juta dalam proyek pembangunan gedung baru DPR. Bahkan, Marzuki mengklaim sebagai orang yang menggagalkan proyek tersebut.
Bantahan itu disampaikan Marzuki kepada sejumlah wartawan, Senin lalu (11/11) saat menggelar konferensi pers terkait adanya dugaan suap pembangunan gedung DPR.
Tak cukup hanya membantah, Marzuki juga membeberkan kronologis proses pembangunan gedung DPR senilai Rp 1,8 triliun tersebut.
Kalimat yang dicetak miring di bawah ini adalah pernyataan Marzuki Alie soal kronologis proses pembangunan gedung DPR, yang salinan tertulisnya diperoleh oleh KONTAN, Kamis (14/11).
"Saya ingin mengatakan, sebagai Ketua Lembaga Negara, saya ingin memberi keteladanan yang baik kepada semua jajaran di DPR. Oleh karenanya, saat pertama memegang jabatan sebagai Ketua DPR, saya mengumpulkan semua eselon I dan II DPR di ruang kerja saya. Lalu, saya meminta mereka untuk kerja dengan baik, jangan sampai ada yang 'disekolahkan' oleh KPK. Saya tekankan, tidak ada satu pun proyek di DPR yang mengatasnamakan Marzuki Alie, kalau ada yang mengaku saudara atau apa saja tidak usah ragu untuk ditolak. Itulah komitmen saya.
Proyek Gedung DPR dengan nilai Rp.1,8 Triliun, pada dasarnya tinggal ditender saja, karena anggarannya sudah ada termasuk gambar dan rencana konstruksinya, dan itu kewenangan sepenuhnya Sekretaris Jenderal DPR sebagai Pengguna Anggaran.
Sebagai Ketua DPR, walaupun itu kewenangan Sekjen DPR, saya mencari tahu tentang kewajaran nilai Gedung tersebut dengan posisi saya merangkap sebagai Ketua BURT yang berwenang untuk mengawasi Proyek Proyek DPR. Akhirnya saya meyakini bahwa nilai gedung itu sangat tidak pantas dan tidak wajar," imbuhnya.
Kemudian saya memanggil Sekjen DPR, Ibu Nining, dengan Kepala Biro Harbangin, sdr.Mardian. Saya minta agar dievaluasi kembali dan diturunkan nilai proyeknya semaksimal mungkin. Kemudian dilaporkan, turun menjadi Rp 1,5 triliun. Harga ini pun saya hitung masih terlalu mahal, tetapi Mardian tidak bisa menjelaskan kenapa muncul angka sebesar itu.
Saya minta data CV (curriculum vitae) Mardian kepada Sekjen DPR. Ternyata, yang bersangkutan lulusan Administrasi Negara. Wajar saja jika dia tidak mengerti apa-apa soal teknik sipil. Saya minta ke Sekjen DPR agar Mardian dipindahkan dan ditempatkan pada posisi yang sesuai dengan pendidikannya.
Karena tidak ada yang kompeten dari internal untuk mengisi Jabatan Biro Harbangin, maka saya hubungi Menteri Pekerjaan Umum (PU) Joko Kirmanto agar membantu DPR dengan mengirimkan staf teknisnya setingkat eselon II, punya idealisme dan mau kerja baik. Akhirnya, Pak Joko Kirmanto mengirim staf bernama Sumirat.
Saat menghadap saya didampingi Sekjen, saya minta agar Sumirat bekerja baik, tidak neko-neko sebagai orang yang dipercaya Menteri PU. Selanjutnya, saya minta Sumirat menghitung kembali rencana biaya bangunan gedung tersebut, dilaporkan bisa turun menjadi Rp 1,1 Triliun.
Saat rapat Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR, saya meminta agar proyek Gedung DPR ini ditunda dan disosialisasikan lagi ke publik. Wakil Ketua BURT komplain dengan saya, bahwa mereka sudah rapat berkali kali, saya tidak bisa seenaknya memutuskan untuk menunda. BURT itu kolektif kolegial bukan otoritas Ketua BURT.
Saya jawab, silakan saja ke Sekjen, tapi saya perintahkan Sekjen tetap sosialisasi. Saat sosialisasi itulah response publik yang marah dan itu menjadi alasan untuk menunda pelaksanaan tender.
Saya lupa waktunya, saat tender proyek itu tertunda, datang salah satu Fraksi ke saya memprovokasi kesempatan bagi saya selaku Ketua DPR apabila Gedung DPR selesai dibangun, maka tanda tangan Marzuki Alie akan terpampang sepanjang sejarah di gedung DPR baru itu. Saya mengerti maksud fraksi tersebut dan saya hanya senyum saja.
Selanjutnya datang lagi satu Fraksi lainnya dengan membawa USD 50 ribu dalam map (saya tidak melihatnya), protes mereka terima terlalu kecil padahal mereka akan hajatan nasional, infonya atas perintah saya. Saya tanya info itu dari mana. Disebutkan dari salah satu wakil Ketua BURT.
Saya panggil wakil Ketua BURT itu, saya maki maki dan saya minta di clear-kan bahwa saya tidak ada kaitan apa pun dengan itu. Kalau mau nyolong jangan bawa-bawa nama orang lain. Kalau tidak saya akan buka, walaupun saya tidak memegang buktinya, karena US$ 50.000 itu dibawa kembali fraksi tersebut.
Sebelumnya saya juga mengumpulkan semua BUMN karya yang sudah mendaftar menjadi peserta tender, di ruangan saya di DPR, termasuk sdr Bagus dari Adhikarya. Saya menasihati untuk kerja baik, tidak mark-up, karena BUMN Karya milik Pemerintah dan yang dikerjakan proyek Pemerintah.
Dari nuansa pertemuan tersebut, saya berkesimpulan sudah ada skenario untuk memenangkan BUMN tertentu. Dengan data itu semua, saya telepon Menteri BUMN Mustafa Abubakar, untuk memecat Direksi BUMN yang bagi-bagi duit tersebut. Tetapi Menteri BUMN justru menugaskan Direksi tersebut dengan didampingi Deputi Konstruksi Kementerian BUMN untuk bertemu saya. Karena saya tidak ada kepentingannya, maka saya tidak pernah mau ketemu dengan utusan Menteri BUMN tersebut.
Saya juga lupa waktunya, pernah datang mengenalkan diri sebagai sahabat dekat AU sdr.Machfud Suroso, terakhir saat kasus Hambalang saya baru mengetahui sebagai Dirut PT Dutasari, tapi pertemuan tersebut tidak membicarakan Gedung DPR, hanya menceritakan kedekatannya dengan AU, lebih dekat dari Nazaruddin.
Pertemuan dengan BUMN karya tersebut hanya satu kali saja di Ruang rapat saya, tidak ada pertemuan khusus di luar itu, apalagi ketemu khusus dengan Adhikarya, seperti berita majalah Tempo,"
Setelah Menteri BUMN digantikan Dahlan Iskan, saya ingkatkan Dahlan Iskan tentang sdr Bagus yang sebelumnya Kepala Divisi yang diangkat menjadi Direktur, bahwa orang tersebut bermasalah. Saya minta agar orang tersebut dipecat, alhamdulillah Akhirnya yang bersangkutan menjadi tersangka kasus Hambalang.
Laporan Sumirat terakhir, biaya proyek bisa ditekan lagi di bawah Rp 1 triliun. Untuk itu kemudian kami BURT memanggil Menteri PU Joko Kirmanto, mempertanyakan tanggung jawab staf Teknis yang diperbantukan di perencanaan Proyek tersebut, bagaimana mungkin proyek Rp 1,8 Triliun bisa turun sampai di bawah Rp 1 Triliun.
Itulah kronologisnya. Saya pasang badan berhadapan dengan beberapa teman BURT, digebuki rakyat karena dianggap ngotot mau bangun Gedung Baru. Padahal saya memerlukan dukungan penolakan tersebut untuk menunda dan menekan biaya proyek Gedung DPR. Saat ini, saya dihadapkan dengan berita Tempo yang sangat menyakitkan. Saya yakin, catatan nama saya menerima Rp 250 juta itu tidak salah, tapi siapa yang menjual nama saya itu yang harus diungkap.
Dari cerita di atas saja, jelas ada yang menjual nama saya. Saya melakukan ini semua, demi idealisme yang diajarkan Bapak saya untuk menjaga martabat keluarga, tapi harus berani walaupun kita berkorban untuk itu, itulah nama Ali yang ditambahkan di nama Marzuki.
Akhirnya, saya melaporkan semua kejadian ini di Rapim dan sepakat proyek ini dibatalkan. Semoga Allah menguatkan mental saya menghadapi suasana yang tidak sehat saat ini, kepada yang memfitnah diampuni dosanya.”
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News