Reporter: Adinda Ade Mustami, Asep Munazat Zatnika | Editor: Havid Vebri
JAKARTA. Badai krisis ekonomi nampaknya belum akan berhenti, bahkan menjalar hingga kawasan Asia, dan kini merembet ke Asia Tenggara. Negeri jiran, Malaysia, Myanmar serta Thailand mulai terciprat badai menakutkan itu.
Salah satu indikator yang nampak adalah pasca devaluasi yuan, ringgit Malaysia, Myanmar kyath, hingga bath Thailand ikut rontok. Dihitung sejak awal tahun hingga Agustus (year to date), kyath turun 24%, ringgit 18,03%. serta bath sebesar 8%terhadap mata uang dollar AS.
Kondisi ini juga diikuti dengan rontoknya bursa saham Malaysia yang turun 15,07% dan indeks bursa di Thailand yang melemah 5,56%.
Kondisi ini jelas mengkhawatirkan. Pasalnya, Malaysia adalah mitra dagang penting Indonesia. Tak hanya itu saja, Bank Sentral Malaysia juga merupakan salah satu pemegang obligasi pemerintah Indonesia yang cukup besar.
Jika pelemahan ringgit malaysia berlanjut, bukan mustahil, Malaysia akan kembali menguras cadangan devisanya yang kini di posisi US$ 96,7 miliar, terendah sejak 2010. Padahal sejak awal tahun cadangan devisa Malaysia tercatat masih di US$ 116 miliar atau turun 19,9%.
Celakanya, saat bersamaan Malaysia kini dihinggapi krisis politik tajam yang diawali dengan terbongkarnya mega skandal di 1MDB yang melibatkan Perdana Menteri Malaysia Nazib Razak. Lantaran penolakan Nazib Razak mundur, tanggal 29 dan 30 Agustus nanti, aliansi 84 LSM Malaysia Bersih akan turun ke jalan.
Ini jelas berpotensi menggoyang ekonomi Malaysia. Bukan hal muskil, untuk menopang ringgit, bank sentral Malaysia akan menjual asetnya, salah satunya obligasi, termasuk Indonesia. Skenario yang sama juga bisa dilakukan Thailand yang juga mengempit obligasi kita.
Jika ini terjadi, Indonesia bisa masuk pusaran krisis ekonomi yang lebih dalam. Faktanya, mata uang garuda juga sudah merosot tajam sejak awal tahun yakni 11,7%. Pun IHSG yang rontok, mendekati 15%.
Catatan Morgan Stanley, (18/8), Indonesia dan negara kawasan seperti Singapura, Thailand, dan Malaysia sangat rentan dengan gejolak pasar keuangan dan ekonomi China. Selain Indonesia, "Ekspor Malaysia ke China juga cukup besar hingga 15%," kata Berly Martawardaya, Ekonom dari Universitas Indonesia.
Ekonom BCA David Sumual minta pemerintah waspada atas gejolak yang terjadi di negara tetangga. Pemerintah harus memperkuat pasar keuangan serta mempercepat kebijakan fiskalnya. Jika tidak, ekonomi kita akan masuk pusaran krisis yang lebih dalam lagi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News