kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.326.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Krisis 2008 dilewati, ekonomi dunia hadapi VUCA


Kamis, 24 Agustus 2017 / 13:09 WIB
Krisis 2008 dilewati, ekonomi dunia hadapi VUCA


Reporter: Adinda Ade Mustami | Editor: Sanny Cicilia

KONTAN.CO.ID - Delapan tahun setelah meledaknya krisis keuangan global 2008-2009 lalu, para pembuat kebijakan telah berupaya memulihkan kondisi ekonomi. Namun, pertumbuhan ekonomi global tetap lebih rendah dari rata-rata pertumbuhan ekonomi sebelum krisis.

Gubernur BI Agus Martowardojo mengatakan, perkiraan IMF, ekonomi global akan tumbuh 3,5% di tahun ini dan 2,6% di tahun depan. Capaian itu lebih tinggi dati pertumbuhan ekonomi global 2016 yang sebesar 3,2%. Hal itu mengindikasikan pemulihan ekonomi global lebih kuat.

Meski demikian, angka itu tetap lebih rendah dari rata-rata pertumbuhan ekonomi sebelum krisis, yaitu tahun 2004-2008 sebesar 4,8%. "Menurut kami, ini menegaskan bahwa ekonomi global telah ada telah memasuki fase new normal," kata Agus saat pidato dalam acara Konferensi bertajuk "Sinergy on The VUCA World", di kantor BI, Jakarta, Kamis (24/8).

Lebih lanjut menurutnya, prospek pertumbuhan ekonomi global yang moderat tersebut menyiratkan tidak hanya melemahnya permintaan eksternal dan kegiatan investasi pasca krisis keuangan global, tetapi juga meningkatnya risiko di pasar keuangan global.

"Faktor-faktor tersebut menyebabkan volatilitas tinggi, ketidakpastian, kompleksitas, dan ambiguitas dalam ekonomi global, yang dikenal sebagai akronim yang disebut VUCA (volatility, uncertainty, complexity, dan ambiguity) " tambah Agus.

Lebih lanjut menurutnya, di bawah VUCA, ada beberapa mega tren yang meningkatkan kerentanan finansial, melemahkan potensi pertumbuhan, dan berkontribusi pada ketidakpastian kebijakan yang cukup besar. Mega tren yang dimaksud, yaitu ketegangan geopolitik, perubahan iklim, inovasi yang mengganggu, dan meningkatnya proteksionisme.

Sementara itu, teori makroekonomi umum yang mendasari kerangka kebijakan ekonomi, mengabaikan mega tren tersebut. Akibatnya, para pengambil kebijaka di seluruh dunia menghadapi banyak tantangan dalam mencapai tujuan ekonomi dan menjaga stabilitas keuangan.

Indonesia sendiri lanjut dia, telah menjaga stabilitas makroekonomi dan keuangan. Hasilnya, ekonomi nasional masih bisa tumbuh 5,01% di semester pertama 2017. Hal itu mengindikasikan berlanjutnya proses pemulihan meski lebih lambat dari yang diharapkan.

Selain itu, kestabilan dari pengaruh eksternal yang sudah dikelola dengan baik, seperti neraca pembayaran yang mencatatkan surplus dalam lima kuartal terakhir. Defisit transaksi berjalan atau current account defisit (CAD) berada di bawah 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB).

"Cadangan devisa (cadev) per Juli 2017 juga mencapai rekor baru sebesar US$ 127,76 miliar sejak Agustus 2011. Kecukupannya (untuk membiayai impor dan utang) juga meningkat sejak kuartal keempat 2013," ucap Agus.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×