Reporter: Anastasia Lilin Y |
JAKARTA. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi menahan mantan Menteri Kesehatan (Menkes), Achmad Sujudi. Sujudi ditahan dalam proyek pengadaan alat kesehatan (alkes) untuk kawasan Indonesia Timur pada tahun 2003. Selain Sujudi, KPK juga resmi menahan dua rekanan Departemen Kesehatan (Depkes) yakni Direktur Utama PT Kimia Farma Tbk, Gunawan Pranoto dan Direktur PT Rifa Jaya Mulia, Rinaldi Yusuf.
Juru Bicara KPK, Johan Budi S P mengatakan dalam siaran rilisnya, berdasarkan hasil penyelidikan ditemukan bahwa saat menjabat sebagai Menkes, Sujudi bersama-sama dengan Gunawan dan Rinaldi mengambil keuntungan yang tidak wajar. "Melawan hukum dalam proses pengadaan alat-alat kesehatan," katanya.
Dalam kasus ini KPK menjerat ketiganya dengan sangkaan melanggar Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 (1) ke-1 KUHPidana. Ini adalah sangkaan pasal memperkaya diri sendiri dan orang lain serta merugikan keuangan negara.
Menurut Johan, ketiganya ditahan di tempat yang berbeda. Sujudi ditahan di Cipinang, Gunawan ditahan di tahanan Polres Metro Jakarta Timur, sedangkan Rinaldi ditahan di Polres Metro Jakarta Barat.
Ketiga tersangka dalam kasus alkes 2003 ini keluar dari Gedung KPK secara berurutan. Mereka menjalani pemeriksaan selama hampir 11 jam.
Sayangnya hanya Sujudi yang berkenan berkomentar sedangkan Rinaldi dan Gunawan memilih untuk tutup mulut. "Pemeriksaan hanya mengulangi yang sama. Tidak ada yang prinsipal pertanyaannya. Nanti kalau sudah selesai dikasih tahu," katanya seraya bergegas berlalu memasuki mobil tahanan bernomor polisi B8593WU.
KF akui ditunjuk langsung
Kuasa hukum Gunawan, Teuku Nasrullah mengakui bahwa terlibatnya PT Kimia Farma Tbk (KF) dalam proyek pengadaan alkes 2003 ini karena ditunjuk langsung oleh Depkes. Penunjukan langsung dilakukan lantaran KF adalah BUMN. "Depkes juga tidak punya pengalaman di lapangan," katanya.
Teuku mengatakan, pelaksana proyek sendiri dilakukan oleh anak perusahaan KF, PT Kimia Farma Trade and Distribution (KFTD). KFTD kemudian menggandeng sejumlah perusahaan untuk menjadi penyedia barang, salah satunya PT Rifa Jaya Mulia.
Mengenai penentuan harga, Teuku bilang atas sepengetahuan Depkes. Pasalnya, semua barang yang akan diadakan diajukan ke Depkes sebagai penentu keputusan.
Tak hanya itu. Teuku juga membantah telaah KPK yang mengatakan kalau terjadi mark up harga sampai lebih dari 5.000%. Dia bilang bahwa keuntungan yang didapat hanya 20% saja. "Itu juga masuk ke kas negara. Jadi apa yang dirugikan?" katanya.
Teuku menilai KPK hanya membandingkan harga proyek dengan harga pasaran tanpa meghitung besaran biaya yang diperlukan dalam pengadaan barang tersebut. "Misalnya mau pasang rontgen harus dibangun penunjang prainstalasi," pungkasnya.
Proyek pengadaan alat kesehatan ini menyedot Anggaran Belanja Tambahan (ABT) sampai Rp 190 miliar. Sementara total kerugian negara diperkirakan mencapai hampir separuhnya yakni Rp 91,5 miliar.
Modus kejahatan ini adalah penunjukan langsung dan penggelembungan harga (mark up). Dalam penelaahan KPK bahkan menemukan mark up sampai 5.594,29%.
Alat kesehatan yang di-mark up sampai 5.594,29% adalah Polypectomy Instrument Set tipe VARIOUS dengan merek Dimeda buatan Jerman. Harga kontrak alat ini untuk lima unit sebesar Rp 117.814.545.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News