Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Yudho Winarto
Sedangkan terkait dengan dugaan adanya praktik transfer pricing, Johnson berkelit. Johnson mengklaim, pihaknya sudah menerapkan skema yang bisa menutup celah kerugian negara.
Baca Juga: Cadangan batubara tinggal 80 tahun lagi, setelah itu kita impor?
Dari sisi pemberlakuan royalti, misalnya, hitungannya ditentukan dari nilai terbesar antara Harga Patokan Batubara (HPB) dan harga jual batubara yang diterima perusahaan.
"Kita sudah antisipasi, jadi kalau pun dia jual lebih rendah, kita mengenakan royalti dari (nilai) yang paling tinggi," terang Johnson.
Sementara untuk mengetahui kesesuaian volume ekspor dan spesifikasi batubara yang disepakati dalam kontrak jual beli, seperti nilai kalori batubara, toleransi batasan kandungan sulfur (S), kandungan debu (Ash), serta kandungan air (TM/Total Moisture), Johnson menyampaikan bahwa hal tersebut seharusnya sudah dipastikan dalam hasil laporan surveyor.
"Itu hasil surveyor. Kita juga sesekali menggunakan Tekmira (Puslitbang Teknologi Mineral dan Batubara) menguji kepatuhan surveyor untuk melaporkan hasil sebenarnya," terang Johnson.
Baca Juga: Terjebak di 5%, masa pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tinggi tinggal kenangan
Selain itu, sambung Johnson, adanya sistem pelaporan dan pengawasan berbasis online seperti Mineral Online Monitoring System (MOMS), serta e-PNBP yang sudah berlaku efektif untuk seluruh perusahaan sejak 1 Maret 2019 diharapkan dapat semakin meningkatkan kepatuhan perusahaan dan juga menutup celah potensi kerugian negara.
"e-PNBP kepatuhan untuk bayar akan makin tertib, dan MOMS akan mengawasi produksinya. Sebenarnya kita sudah makin baik pengawasannya," tandas Johnson.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News