Reporter: Indra Khairuman | Editor: Putri Werdiningsih
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Fase kontraksi yang dialami sektor manufaktur Indonesia sejak bulan April sampai Juli 2025 diprediksi akan memberikan dampak besar pada pertumbuhan PDB di kuartal II. Industri pengolahan yang berpotensi menjadi faktor pengurang utama dalam struktur ekonomi nasional.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa kontribusi industri pengolahan terhadap PDB Indonesia dalam lima tahun terakhir mengalami penurunan, yaitu sebesar 19,87% di tahun 2020, 19,25% di tahun 2021, 18,34% di tahun 2022, 18,67% di tahun 2023, dan 18,98% di tahun 2024.
Sementara itu, Purchasing Manager’s Index (PMI) Manufaktur Indonesia pada periode April sampai Juli 2025 tercatat di bawah angka 50, dengan nilai 46,7 pada bulan April, 47,4 pada bulan Mei, 46,9 pada bulan Juni, dan 49,2 pada bulan Juli.
Baca Juga: Indeks Manufaktur BI Kuartal II 2025 di Level 50,89, Industri Pengolahan Stabil
M. Rizal Taufikurahman, Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef), menjelaskan bahwa fase kontraksi manufaktur ini menunjukkan adanya tekanan serius pada sektor riil Indonesia.
"Dengan bobot kontribusi industri pengolahan sekitar 18% terhadap struktur PDB, stagnasi ini jelas akan menyeret kinerja makro kuartal II," ujar Rizal kepada Kontan.co.id, Minggu (3/8/2025).
Menurutnya, jika situasi ini dikonfirmasi oleh indikator pelengkap seperti penurunan konsumsi listrik dan lesunya impor bahan baku serta barang modal pada bulan Mei sampai Juni, maka sangat mungkin pertumbuhan PDB kuartal II hanya akan berada di kisaran 4,6%-4,9% YoY.
"Ini sinyal bahwa daya dorong sektor produksi dalam negeri belum pulih struktural, meski sisi konsumsi cenderung tetap resilient," kata Rizal.
Lebih lanjut, Rizal juga menjelaskan bahwa sekotr pengolahan kemungkinan besar akan menjadi faktor pengurang pada PDB kuartal II.
"Di tengah lemahnya permintaan eksternal—khususnya dari Tiongkok dan Eropa—sejumlah subsektor manufaktur ekspor seperti tekstil, alas kaki, dan elektronik mengalami kontraksi," ucap Rizal.
Ia menegaskan bahwa meskipun subsektor otomotif dan makanan serta minuman masih tumbuh, kontribusinya belum cukup kuat untuk meningkatkan agregat sektor.
"Secara netto, sektor pengolahan justru menjadi titik lemah dalam struktur pertumbuhan, bukan motor pemulihnya," tegas Rizal.
Baca Juga: Setoran Pajak Industri Pengolahan Tumbuh 4,6% pada Mei 2025
Secara kualitatif, Rizal mengatakan bahwa jika industri pengolahan hanya tumbuh 0% atau bahkan sedikit mengalami kontraksi -0,5% YoY, maka kontribusinya terhadap pertumbuhan total bisa menyusut sekitar 0,1-0,2 ppt.
"Di sisi lain, konsumsi rumah tangga diperkirakan tetap tumbuh moderat sekitar 5%, menopang pertumbuhan sekitar 2,6 ppt," kata Rizal.
Sementara, Rizal juga menjelaskan bahwa investasi, khususnya Penanaman Modal Asing (PMA), kemungkinan masih lemah, sehingga hanya akan memberikan tambahan sekotar 0,9 ppt.
"Dengan asumsi ekspor-impor dan belanja pemerintah bersifat netral, maka pertumbuhan ekonomi nasional pada Q2-2025 secara realistis hanya berada di kisaran 4,6–4,9% yoy," tambah Rizal.
Ini menunjukkan bahwa daya dorong struktural dari sektor produksi belum cukup kuat untuk menjaga momentum pertumbuhan di atas 5%.
Selanjutnya: Biaya Pencadangan Susut, Kinerja Bank Investor Korea Makin Menanjak
Menarik Dibaca: Waspadai Anak yang Menggunakan Chatbot AI dan Teman Virtual di Era Digital
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News