Reporter: Adhitya Himawan | Editor: Djumyati P.
JAKARTA. Bagi sebagian orang pemalsuan yang terjadi di Indonesia sudah tak tertolongkan. Konsumen di Indonesia merasa senang bisa mendapatkan produk dengan murah, aparat pun ogah-ogahan bergerak untuk menegakkan hak kekayaan intelektual.
Tapi Ketua Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan (MIAP) Widyaretna Buenastuti bersikukuh dengan pentingnya penghargaan terhadap hak kekayaan intelektual (HKI). Sebab pelanggaran-pelanggaran terhadap HKI ini akan menimbulkan banyak kerugian bagi kepentingan masyarakat luas terutama konsumen.
Menurut Widyaretna dikemukakan dalam diskusi "Konsumen Perlu Dilindungi Sebagai Pengguna Akhir, di Hotel Grand Mahakam, Jakarta, Selasa, (23/7). Menurutnya, MIAP selalu menekankan pentingnya penghargaan terhadap HKI dalam setiap program sosialisasi dan edukasi yang bermuara pada kepentingan masyarakat luas. "Khususnya kerugian terbesar bagi konsumen sebagai pengguna akhir," kata Widyaretna.
Widyaretna mengakui dirinya amat prihatin mengingat masalah pelanggaran HKI di Indonesia masih terbilang tinggi. Ia memaparkan bahwa berdasarkan hasil riset dan studi menggambarkan betapa pelanggaran HKI masih terjadi di seluruh lapisan masyarakat. "Kerugian terbesar dari tidak dihargainya HKI berujung kepada maraknya peredaran produk palsu atau bajakan yang sampai pada konsumen," jelas Widyaretna.
Padahal, menurut Widyaretna, dalam UU No 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, hak konsumen jelas dilindungi. Hak konsumen tersebut meliputi hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan mengonsumsi barang atau jasa serta hak untuk memilih barang dan jasa serta mendapatkan barang dan jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.
Oleh sebab itu, Widyaretna menegaskan MIAP akan terus menjalin kerjasama dengan Sekretariat Wakil Presiden RI, Kementerian Perdagangan, Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM, dan Majelis Ulama Indonesia (MUI). "Kerjasama dengan MUI termasuk untuk menggunakan pendekatan dimensi agama, tak semata ekonomi. Ini sesuai dengan Fatwa MUI No 1 Tahun 2005," pungkas Widyaretna.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News