Reporter: Sinar Putri S.Utami | Editor: Dupla Kartini
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Perkara lingkungan terkait pencemaran sumur minyak Montara di kawasan Nusa Tenggara Timur (NTT) akhirnya memasuki agenda mediasi di PN Jakarta Pusat. Ketua majelis hakim, Budi Hertantyo mengatakan, sebelum majelis hakim memeriksa pokok perkara, para pihak diwajibkan untuk melakukan mediasi.
Menurut Budi, mediasi sedianya dihadiri para prinsipal sebagai bentuk itikad baik. Hal itu berdasarkan ketentuan Peraturan Mahkamah Agung No. 1/2016.
Berdasarkan info yang diterima KONTAN, Kamis (23/11), penetapan mediasi itu diketuk Budi pada Rabu (22/11). Majelis menunjuk hakim Wiwik Suhartono sebagai hakim mediator. Jika mediasi gagal, maka, majelis akan melanjutkan persidangan.
Dalam hal ini, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bertindak sebagai penggugat. Sementara pihak tergugat adalah The PetroleumAuthority of Thailand Exploration and Production Australasia (PTTEP AA) (T1) berkedudukan di Australia, The Petroleum Authority of Thailand Exploration and Production Public Company Limited (PTTEP) (T2) berkedudukan di Thailand, The Petroleum Authority of Thailand Public Company Limited (PTT PCL) (T3) berkedudukan di Thailand.
Perkara ini bermula dari Deputi I Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim, Kemen Koordinator Kemaritiman Arif Havas Oegroseno yang mengatakan ketiga perusahaan itu bertanggung jawab secara sendiri-sendiri maupun tanggung renteng berdasarkan prinsip hukum nasional dan hukum internasional atas meledaknya kilang minyak Montara pada 2009 silam.
PTTEP dinilai tidak menunjukkan itikad baik dalam menyelesaikan masalah ini. Padahal, kejadian tersebut telah mengakibatkan pencemaran pada baku mutu air laut di hampir seluruh wilayah NTT dan mengakibatkan kerusakan lingkungan berupa hutan mangrove, padang lamun, terumbu karang dan ekosistim laut secara luas.
Sehingga, PTTEP dikenakan Pasal 87 dan 88 UU No. 32/2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup. Pun juga dikenakan 1365 dalam kitab undang-undang hukum perdata.
Dalam gugatan perbuatan melawan hukum itu, pemerintah menuntut ganti materil secara tunai sebesar Rp 23,01 triliun. Rinciannya kerugian pada kerusakan hutan mangrove Rp 4,55 triliun, kerusakan padang lamun Rp 1,15 triliun, dan kerusakan terumbu karang Rp 17,3 triliun. Tak hanya itu, pemerintah juga menyertakan biaya pemulihan sebesar Rp 4,46 triliun.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News