Reporter: Riendy Astria | Editor: Djumyati P.
JAKARTA. Total kerugian ekonomi secara makro akibat Demam Berdarah Dengue (DBD) pada 2010 mencapai Rp 3,1 triliun. Mirisnya, hanya di bawah 10 persen yang ditanggung pemerintah.
"Kerugiannya memang sangat besar, yakni Rp 3,1 triliun. Ini secara makro ya, dan sebagian besar yang menanggung ini adalah masyarakat, pemerintah, khususnya pemerintah daerah hanya menyumbang tidak sampai 10 persen," ujar Soewarta Kosen, Peneliti yang juga Koordinator Unit Analisis Kebijakan dan Ekonomi Kesehatan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.
Angka 10 persen adalah bantuan dari pemerintah daerah untuk menanggung biaya masyarakat yang terkena DBD. "Hingga kini, baru beberapa daerah yang pemdanya menanggung biaya DBD, antara lain Jakarta, Bekasi, Balikpapan, dan Gorontalo," tambahnya kemudian. Menurut Soewarta, seharusnya kasus DBD 100 persen dibebankan kepada pemerintah.
Perhitungan kerugian sebesar Rp 3,1 triliun antara lain, berdasarkan perspektif individu, beberapa studi di RS di Indonesia rata-rata dengan biaya inap Rp 158 ribu per episode, biaya berobat jalan Rp 200 ribu, biaya transpor dan biaya menunggu di RS Rp 400 ribu (untuk 5 hari). "Jadi total biaya per kasus per episode sebesar Rp 2.180.000," tambahnya kemudian.
Sementara itu, berdasarkan perspektif makro, total kasus DBD pada 2010 adalah 157.370 kasus sehingga total biaya medis DBD adalah Rp 343.066.600.000.
Total kasus meninggal (0,18 persen dari total kematian karena semua sebab): 2.899 (CFR: 1,8 persen) serta total tahun produktif yang hilang karena kematian prematur adalah 101.724 DALYs (Disability Adjusted Life Years).
Tidak hanya itu, total tahun produktif yang hilang karena disabilitas (tidak bekerja dan tidak sekolah) adalah 2.362 DALYs ditambah total beban penyakit 104.086 DALYs. "Bila GDP per kapita tahun 2010 Rp 27 juta, maka total kerugian ekonomi makro mencapai Rp 2,81 triliun tambah biaya medis sebesar Rp 343 miliar menjadi Rp 3,153 triliun, "jelasnya.
Meskipun jumlah kematian akibat DBD menurun, namun jumlah kasus akibat DBD terus meningkat. Saat ini, pemerintah harus melakukan langkah preventif agar jumlah kasus DBD menurun. "Jika terus meningkat, maka kerugian akan semakin besar. Pemerintah harus mengubah cara pencegahan, dari pencegahan kuratif ke pencegahan preventif," ujar Soewarta.
Sementara itu, hingga akhir April 2011, DBD sudah sampai ke 19 provinsi, 165 kabupaten/kota terjangkit. Total kasus sebanyak 7514 kasus dengan total kematian di bawah 1 persen. Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan (P2PL Kemenkes) Tjandra Yoga mengatakan bahwa ada lima provinsi yang memiliki IR tertinggi, yakni Aceh, DKI Jakarta, Bali, NTB, dan Bengkulu.
"Aceh dengan IR 25,09 per 100 ribu penduduk, DKI Jakarta 23,18 per 100 ribu penduduk, Bali 19,13 per 100 ribu penduduk, NTB 8,70 per 100 ribu penduduk dan Bengkulu dengan IR 7,31 per 100 ribu penduduk," jelas Tjandra.
Menurut Tjandra, saat ini harus ada regulasi pemerintah daerah tentang pengendalian DBD agar kasus DBD di Indonesia dapat menurun. "Saat ini baru DKI Jakarta, Jawa Timur, Kota Mojokerto, dan Denpasar yang memiliki Perda," tambahnya kemudian.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News