Reporter: Dadan M. Ramdan | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Korupsi masih menjadi problem serius di negeri ini. Faktor budaya, lemahnya penegakan hukum, dan saksi yang terbilang ringan, sehingga tidak memberikan efek jera bagi koruptor.
Lemahnya prilaku antikorupsi ini setidaknya tergambar dari indeks korupsi Indonesia yang stagnan bahkan cenderung terus menurun. Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) Indonesia tahun 2024 tercatat sebesar 3,85 pada skala 0–5, menurun dari 3,92 pada tahun 2023. Penurunan ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia cenderung lebih permisif terhadap korupsi dibandingkan tahun sebelumnya.
Berdasarkan laporan dari Transparency International Indonesia (TII) tahun 2023, skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia stagnan di angka 34, sama dengan tahun sebelumnya. Peringkat Indonesia juga menurun dari 110 menjadi 115 dari 180 negara yang dilibatkan dalam survei tersebut.
Ahli Hukum Pidana dan Kriminolog Universitas Indonesia (UI), Adrianus Sembiring Meliala menilai, persoalan korupsi sulit diberantas karena bekaitan dengan budaya, tidak sebatas faktor sanksi yang ringan.
Baca Juga: Demonstran di Korea Selatan Berunjuk Rasa Dukung dan Tolak Penangkapan Yoon Suk Yeol
"Sanksi ringan itu kan terjemahan hukum atas kemauan politik. Politik sendiri merefleksikan value kita atau norma menyangkut korupsi," katanya kepada KONTAN, Minggu (5/1). Adrianus menegaskan, itulah penjelasan mengapa korupsi menjadi budaya karena secara norma, letaknya jauh lebih rendah dari "makanan halal" misalnya.
"Secara politik, tidak ada partai atau pemerintah yang mau serius soal pemberantasan korupsi, karena khawatir akan memercik muka sendiri. Nah, hukum membaca hal itu dan menterjemahkannya dalam bentuk vonis rendah," sebut Adrianus.
Hal senada disampaikan Ketua Indonesian Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso yang memandang, dalam pemberantasan korupsi, masyarakat tidak melihat bukti keseriusan dari penegakan hukum dalam hal ini Polri untuk melakukan penindakan tanpa pandang bulu termasuk kepada anggotanya.
"Perlakuan yang tebang pilih dalam pemberian sanksi pada anggota, tajam hanya ke level bawah tapi tumpul keatas berakibat pada timbulnya cemburuan, sehingga melahirkan sikap masa bodoh yang merugikan institusi," ungkap dia.
Merujuk survei lembaga Indikator Politik Indonesia pada 18-21 Februari 2024, misalnya, tingkat kepercayaan publik terhadap kinerja pemerintahan Presiden Jokowi mengalami penurunan. Sebelum pemilu, kepercayaan publik ke Jokowi mencapai 78,6%, tapi menurun menjadi 76,6% usai pemilu. Salah satu faktor yang berkontribusi terhadap penurunan ini adalah penegakan hukum yang dianggap masih kurang.
Perkara Korupsi
Baca Juga: PM Thailand Miliki Aset Rp6,47 Triliun, Termasuk Jam Tangan dan Tas Mewah
Meski demikian, aparat penegak hukum terus berupaya membongkar berbagai kasus korupsi di tengah tingkat kepercayaan publik yang menurun. Sepanjang tahun 2024, Polri berhasil mengungkap 1.280 perkara korupsi melalui Satgassus Pencegahan Tindak Pidana Korupsi (Tipidkor) Bareskrim Polri., dengan penyelesaian perkara sebanyak 431 perkara atau 33,7% dan mengamankan sebanyak 830 tersangka. Dari pengungkapan yang telah dilakukan, Polri mengidentifikasi kerugian keuangan senilai Rp 4,8 triliun.
Setali tiga uang. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berhasil menangani sejumlah perkara meski banyak sorotan publik atas kinerjanya yang dinilai kurang greget. Pada periode 2020-2024, KPK telah menangani 2.730 perkara di 5 sektor yang jadi fokus utama pemberantasan korupsi.
Selama lima tahun, KPK mencatat telah melakukan penyelidikan (541 perkara); penyidikan (622 perkara); penuntutan (510 perkara); perkara yang berkekuatan hukum tetap/inkracht (533 perkara;) dan pelaksanaan eksekusi (524 perkara).
Berdasarkan data per 16 Desember 2024, KPK telah melakukan serangkaian upaya penindakan, yang terdiri atas penyelidikan sebanyak 68 perkara; penyidikan (142 perkara); penuntutan (79 perkara); perkara yang berkekuatan hukum tetap/inkracht sejumlah 83 perkara; dan pelaksanaan eksekusi sebanyak 99 perkara.
Sementara, Kejaksaan Agung cukup mendapat apresiasi publik lantaran keberhasilan membongkar kasus-kasus yang terbilang besar. Dalam rilis capaian kinerja Kejaung sepanjang 2024, tercatat ada enam kasus dugaan korupsi yang menyita perhatian publik.
Pertama, dugaan tindak pidana korupsi tata niaga komoditas timah di wilayah IUP PT Timah Tbk tahun 2015 - tahun 2022, dengan jumlah kerugian negara senilai Rp 300 triliun. Kedua, dugaan tindak pidana korupsi proyek pembangunan jalur kereta api Besitang-Langsa pada Balai Teknik Perkeretaapian Medan tahun 2017 - tahun 2023, dengan jumlah kerugian negara senilai ± Rp 1 triliun.
Ketiga, dugaan tindak pidana korupsi penyalahgunaan wewenang dalam penjualan emas oleh Butik Emas Logam Mulia Surabaya 01 Antam (BELM Surabaya 01 Antam) tahun 2018, dengan jumlah kerugian negara senilai Rp 1,07 triliun) dan 58,135 kg emas.
Keempat, dugaan tindak pidana korupsi pada Pengelolaan Kegiatan Usaha Komoditi Emas tahun 2010 - 2022, dengan jumlah kerugian negara senilai Rp 24,58 miliar.
Kelima, dugaan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang dengan tindak pidana asal tindak pidana korupsi dalam kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit yang dilakukan oleh PT Duta Palma Group di Kabupaten Indragiri Hulu, dengan jumlah kerugian negara senilai Rp 4,79 triliun dan US$ 7,885,857.36.
Keenam, dugaan tindak pidana korupsi dalam kegiatan importasi gula di Kementerian Perdagangan Tahun 2015- 2023, dengan jumlah kerugian negara senilai ± Rp 400 miliar. "Total kerugian negara dari keenam perkara tersebut yaitu Rp 310,60 triliun, US$ 7,885,857.36 dan 58,135 kg emas," ujar Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Harli Siregar dalam konferensi pers, Selasa (31/12/2024).
Khusus kerugian negara dalam perkara komoditas timah, kerugian keuangan negara atas aktifitas kerja sama penyewaan alat processing penglogaman timah yang tidak sesuai ketentuan terdiri dari beberapa hal. Antara lain, pembayaran kerja sama penyewaan alat processing penglogaman timah oleh PT Timah Tbk ke lima Smelter Swasta senilai Rp 3,02 triliun. Lalu, HPP smelter PT Timah Tbk senilai Rp 738,93 miliar. Sehingga total kerugian negaranya senilai Rp 2,28 triliun.
Kemudian, kerugian keuangan negara atas pembayaran bijih timah dari tambang timah ilegal senilai Rp 26,64 triliun. Kerugian keuangan negara atas kerusakan lingkungan akibat tambang timah ilegal (Ahli Lingkungan Hidup) senilai 271,06 triliun. Kerugian ekologi senilai Rp 183,70 triliun; kerugian ekonomi lingkungan Rp 74,47 triliun; dan kerugian pemulihan lingkungan Rp 11,88 triliun. Sehingga total kerugian negara pada perkara ini senilai Rp 300 triliun.
Selanjutnya, data perhitungan kerugian lingkungan hidup. Kerugian lingkungan hidup pada kawasan hutan di Kabupaten Indragiri Hulu Provinsi Riau dalam perkara dugaan korupsi dan TPPU dalam kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit yang dilakukan oleh PT Duta Palma Group, dengan jumlah kerugian negara senilai Rp 73,92 triliun.
Baca Juga: Stabilitas Politik Korea Selatan Kembali Memanas
Selanjutnya: Menanti January Effect, Ada Peluang Menadah Saham Blue Chip yang Sudah Murah
Menarik Dibaca: Kejatuhan Pasar Global Terjadi, Robert Kiyosaki Minta Pegang 3 Aset Investasi Ini
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News