kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.488.000   -2.000   -0,13%
  • USD/IDR 15.585   -20,00   -0,13%
  • IDX 7.627   67,30   0,89%
  • KOMPAS100 1.187   13,71   1,17%
  • LQ45 949   10,88   1,16%
  • ISSI 230   2,18   0,96%
  • IDX30 486   4,48   0,93%
  • IDXHIDIV20 583   5,85   1,01%
  • IDX80 135   1,50   1,12%
  • IDXV30 141   0,16   0,11%
  • IDXQ30 162   1,45   0,91%

Kenaikan Rasio Penerimaan Negara Tak Bisa Terwujud Tanpa Reformasi Menyeluruh


Selasa, 15 Oktober 2024 / 20:55 WIB
Kenaikan Rasio Penerimaan Negara Tak Bisa Terwujud Tanpa Reformasi Menyeluruh
Peluncuran buku 'Sambung Pemikiran Politik Pajak Transformatif Sumitro Djojohadikusumo' karya Guru Besar Ilmu Kebijakan Pajak Universitas Indonesia Prof Dr Haula Rosdiana MSi


Reporter: Dadan M. Ramdan | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID - DEPOK. Kehadiran Badan Penerimaan Negara sebagai otoritas terpisah dari Kementerian Keuangan tidak akan secara otomatis mewujudkan ambisi Presiden Terpilih Prabowo Subianto untuk menaikkan rasio penerimaan negara hingga 23% dari produk domestik bruto (PDB) dalam lima tahun ke depan tanpa disertai reformasi menyeluruh. 

Guru Besar Ilmu Kebijakan Pajak Universitas Indonesia, Prof. Haula Rosdiana, mengungkapkan pendapat ekonom dan mantan Menteri Perdagangan, Sumitro Djojohadikusumo, yang menyatakan bahwa untuk melakukan pembangunan ekonomi yang cepat tanpa memicu inflasi, dibutuhkan rasio pendapatan pajak sebesar 35% dari pendapatan nasional.

“Kondisinya tax ratio kita masih rendah. Tahu tidak ternyata Prof. Sumitro itu sudah menyebutkan di buku Ekonomi Pembangunan bahwa tax ratio yang ideal itu 35%. Bayangkan itu sebenarnya masih jauh dibandingkan rasio penerimaan yang ingin dicapai di dalam Asta Cita,” katanya.

Baca Juga: Rasio Pajak RI Rendah, Beban Fiskal Jadi Bertambah

Pernyataan tersebut disampaikan Haula pada acara peluncuran dan diskusi buku terbarunya, Sambung Pemikiran Politik Pajak Transformatif Sumitro Djojohadikusumo, yang berlangsung di Auditorium EDISI 2020, Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, Depok, pada 15 Oktober 2024. 

Acara ini juga diisi dengan sesi bedah buku oleh Direktur Jenderal Pajak periode 1993-1998 dan Menteri Keuangan Kabinet Pembangunan VII, Fuad Bawazier, serta Dirjen Perimbangan Keuangan (2001-2005) dan Dirjen Pajak (2000-2001) Machfud Sidik, serta Dirjen Pajak (2011-2014) Ahmad Fuad Rahmany.

Haula menjelaskan bahwa Sumitro membagi rasio pajak sebesar 35% menjadi 15% untuk pengeluaran administratif atau konsumtif, sementara sisanya 20% dialokasikan untuk pembentukan modal. 

Di sisi lain, visi dan misi Prabowo-Gibran yang dikenal sebagai Asta Cita menargetkan rasio penerimaan pajak terhadap PDB sebesar 23%, yang berarti 12% di bawah rasio yang dicanangkan oleh Sumitro.

Baca Juga: Tim Prabowo Yakin Badan Penerimaan Negara Bisa Tutup Celah Kebocoran Pajak

Ahmad Fuad Rahmany, Dirjen Pajak periode 2011-2014, mengakui bahwa menaikkan rasio pajak bukanlah hal yang mudah, terutama di tengah kondisi ekonomi yang sulit dan menurunnya daya beli masyarakat kelas menengah. 

Ia menegaskan bahwa salah satu cara untuk meningkatkan penerimaan negara adalah dengan menekan kebocoran pendapatan pajak yang tidak efektif akibat insentif pajak yang diberikan. 

“Banyak dibangun kawasan berikat dan mereka mendapat insentif pajak. Tapi produknya bocor ke dalam negeri bukan diekspor karena lemah pengemasannya. Akibat kebocoran ini, pasar lokal jadi rusak,” ungkapnya. Fuad juga menyarankan agar pembentukan Badan Penerimaan Negara dilakukan secara bertahap.

Baca Juga: Beban Berat Anggaran Negara di Masa Transisi

Haula menambahkan bahwa pemikiran Prof. Sumitro masih relevan, terutama terkait politik pajak. Ia menyatakan bahwa politik pajak Sumitro menekankan pentingnya pendekatan progresif dalam menghimpun penerimaan negara untuk pembangunan ekonomi.

“Pajak itu bukan sekadar undang-undang tapi sejatinya dia merupakan relasi yang terdekat antara negara dengan rakyat, bagaimana menjadi instrumen social, political, and economic engineering,” jelasnya.

Ia juga menekankan bahwa pembangunan ekonomi membawa perubahan struktural yang signifikan dalam masyarakat, berkontribusi terhadap pendapatan nasional serta menciptakan kesempatan kerja. 

“Pajak itu harus menjadi sumber penerimaan andalan karena relasi yang paling dekat antara negara dengan rakyat yang menunjukkan bela negara sejatinya adalah pajak,” ujarnya.

Baca Juga: Dibayangi Ketidakpastian Ekonomi Global, Tax Ratio 2025 Ditargetkan Capai 10,29%

Sumitro yakin bahwa pajak adalah sumber pembiayaan utama, dan untuk memenuhi kebutuhan negara yang terus meningkat, pemerintah perlu melakukan perbaikan organisasi dan tata usaha, atau dalam konteks saat ini, transformasi kelembagaan perpajakan dan penerimaan negara.

Ia juga mengingatkan bahwa resistensi terhadap modernisasi kebijakan fiskal dapat menimbulkan ketegangan sosial.

Sebagai catatan, Prof. Soemitro Djojohadikusumo adalah seorang ekonom Indonesia yang pernah menjabat sebagai menteri perdagangan dan perindustrian serta menteri keuangan dalam beberapa kabinet. Ia lahir pada 29 Mei 1917 dan meninggal pada 9 Maret 2001.

Selanjutnya: Per 15 Oktober, KA Progo Mulai Gunakan Kereta Ekonomi Stainless Steel New Generation

Menarik Dibaca: High Table Menggabungkan Kuliner Premium dan Hiburan Live Jazz

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Eksekusi Jaminan Fidusia Pasca Putusan MK Supply Chain Management on Procurement Economies of Scale (SCMPES)

[X]
×