kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.526.000   0   0,00%
  • USD/IDR 16.240   -40,00   -0,25%
  • IDX 7.037   -29,18   -0,41%
  • KOMPAS100 1.050   -5,14   -0,49%
  • LQ45 825   -5,35   -0,64%
  • ISSI 214   -0,85   -0,40%
  • IDX30 423   -1,15   -0,27%
  • IDXHIDIV20 514   0,87   0,17%
  • IDX80 120   -0,69   -0,57%
  • IDXV30 125   1,36   1,09%
  • IDXQ30 142   0,26   0,18%

Kemungkinan, Daftar Pengusaha yang Kena Cekal Bertambah


Kamis, 07 Agustus 2008 / 17:15 WIB


Reporter: Uji Agung Santosa | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

JAKARTA. Hingga saat ini, pemerintah terus mengembangkan kasus pengemplangan royalti pertambangan. Itu artinya, jumlah pengusaha yang kena cekal kemungkinan akan bertambah. Hal itu diungkapkan oleh Dirjen Kekayaan Negara Hadiyanto . "Tidak menutup kemungkinan ada penambahan nama pengusaha yang dicekal. Kita akan lihat perkembangannya," tutur Hadiyanto di Jakarta hari ini.

Selain pencekalan, sampai saat ini Depkeu belum memutuskan langkah lain agar hutang PNBP tersebut dilunasi. Depkeu juga belum memikirkan apakah akan membawa kasus ini ke proses hukum atau tidak. Menurut Hadiyanto, antara pajak restitusi dan PNBP (dalam hal ini kewajiban royalti)  tidak bisa disamakan karena memiliki jalur yang berbeda.

Yang pasti, pemerintah akan terus berupaya agar royalti yang menjadi kewajiban enam perusahaan batubara itu dibayarkan. “Rp 3,3 triliun itu cukup besar. Oleh karena itu adalah kewajiban saya yang menerima penyerahan piutang dari Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk menagih," tegas Hadiyanto.

Ketika disinggung mengenai pemberian restitusi jika royalti dibayar, Hadiyanto menjelaskan, hal itu sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk membayarnya. Namun, sebelumnya, harus ada dokumen dan landasan mengapa restitusi perlu dibayarkan. "Tapi restitusi itu tidak boleh ditukar dengan utang, karena jalurnya berbeda," tambahnya.

Selain itu, Hadiyanto mempersilahkan enam perusahaan untuk mengajukan keberatan atas jumlah tagihan. Menurutnya, Depkeu, dalam hal ini Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN), hanya melakukan penagihan dari dokumen yang diberikan oleh ESDM dan tidak melakukan penghitungan sendiri.

Pemerintah, lanjutnya,  juga akan mempelajari upaya arbitrase internasional yang akan ditempuh oleh perusahaan batubara itu. "Kita pelajari saja, langkah arbitrasenya seperti apa. Apakah materi dispute penjumlahan utangnya, atau materi dari sisi PPN-nya yang ada di kontrak," katanya.

Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan bahwa masalah royalti sudah ada aturannya sendiri dan terpisah dari masalah pajak atau restitusi PPN. "Mengenai masalah PPN, dulu sudah ada judicial review dari MA dan dasar hukumnya (berupa legal opinion) sudah ada. Dulu kita membuat PP itu dengan anggapan batubara sebagai komoditas primer yang tidak dikenakan PPN," kata Menkeu, hari ini. PP tersebut, lanjut Sri Mulyani, dibuat setelah sebelumnya melakukan konsultasi terlebih dulu ke asosiasi. “Dengan demikian, mereka seharusnya menyadari bahwa konsekuensinya dari PP itu mereka tidak akan mendapatkan restitusi,” tambah Sri Mulyani.

Walaupun sudah ada legal opinion dari MA, namun menurut Menkeu, hal itu baru merupakan opini MA sehingga belum mempunyai ketetapan hukum tetap. "Karena itu belum di pengadilan, baru opini di MA. Itu nanti akan kita lihat. Tetapi tetap di dalam APBN royalti kan masuk PNBP posnya saja berbeda dengan pajak. Jadi masing-masing pos itu dihormati saja," katanya.

Menkeu meminta para pengusaha itu menghormati jalur yang berbeda antara pajak restitusi dan royalti.  Sehingga, masalah keinginan para pengusaha untuk mendapatkan restitusi seharusnya dibicarakan dengan Dirjen Pajak. Menkeu juga bilang, bahwa pemerintah tidak memberi tengat waktu kapan para pengusaha itu harus melunasi utang-utangnya. "Lebih cepat lebih baik," tambahnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective Bedah Tuntas SP2DK dan Pemeriksaan Pajak (Bedah Kasus, Solusi dan Diskusi)

[X]
×