Reporter: Dani Prasetya | Editor: Edy Can
JAKARTA. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mengajukan amandemen Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi ke Komisi VII DPR. Undang-undang itu dianggap tidak lagi mengakomodasi pengembangan usaha panas bumi di wilayah potensi panas bumi yang berada di kawasan hutan lindung, hutan konversi, taman buru, hutan produksi, taman nasional dan hutan suaka alam.
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (EBT dan KE) Luluk Sumiarso mengatakan, pertambangan panas bumi akan sulit diterapkan bila di kawasan hutan. "Kami mohon bantuannya supaya DPR bisa mengamandemen undang-undang itu sebab menghambat," ucapnya saat rapat dengar pendapat (RDP) antara Kementerian ESDM, PT PLN dan PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) dengan Komisi VII DPR, Kamis (19/5).
Luluk menjelaskan, Indonesia memiliki potensi panas bumi sebesar 29 GW. Namun, dia mengatakan potensi yang baru termanfaatkan sekitar 1,189 MW.
Rencananya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral berencana mengembangkan kontribusi panas bumi mencapai 3.967 MW pada 2014. Sayangnya, dia mengatakan rencana itu terkendala lantaran sebagian besar berada di hutan lindung atau di wilayah hutan konservasi.
Menanggapi permintaan itu, Komisi VII DPR setuju untuk mengamandemen undang-undang tersebut. Anggota Komisi VII DPR I Wayan Gunastra mengatakan, kata-kata pertambangan yang dikaitkan dengan panas bumi harus segera dihilangkan.
Anggota Komisi VII DPR lainnya, Nur Yasin menambahkan, pengertian pertambangan yang melekat pada usaha panas bumi itu sangat kontradiktif dengan undang-undang kehutanan. Sehingga, Komisi VII DPR dengan bantuan pemerintah dan Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API) sepakat untuk secepatnya melakukan evaluasi terhadap regulasi itu.
"Tinggal kami lihat amandemen ini usul dari pemerintah atau Komisi VII. Sesudah itu, pemerintah harus lakukan kebijakan terobosan," ucap dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News