kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.896.000   16.000   0,85%
  • USD/IDR 16.220   -29,00   -0,18%
  • IDX 6.915   -12,32   -0,18%
  • KOMPAS100 1.007   -0,64   -0,06%
  • LQ45 771   -2,07   -0,27%
  • ISSI 227   0,47   0,21%
  • IDX30 397   -1,97   -0,49%
  • IDXHIDIV20 459   -2,95   -0,64%
  • IDX80 113   -0,11   -0,10%
  • IDXV30 114   -0,70   -0,61%
  • IDXQ30 128   -0,64   -0,49%

Kemenperin dan Pelaku Industri Ungkap Penyebab PMI Manufaktur Juni Masih Kontraksi


Selasa, 01 Juli 2025 / 19:33 WIB
Kemenperin dan Pelaku Industri Ungkap Penyebab PMI Manufaktur Juni Masih Kontraksi
ILUSTRASI. PMI Manufaktur Indonesia yang dirilis S&P Global bulan Juni 2025 masih berada di fase kontraksi dengan melambat ke level 46,9


Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Handoyo

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tekanan di sektor industri pengolahan Indonesia belum mereda. Purchasing Managers Index (PMI) Manufaktur Indonesia yang dirilis S&P Global bulan Juni 2025 masih berada di fase kontraksi dengan melambat ke level 46,9.

PMI Manufaktur turun 0,5 poin dari posisi 47,4 pada Mei 2025. Kementerian Perindustrian (Kemenperin) pun buka soal posisi kontraksi PMI Manufaktur Indonesia. Juru Bicara Kemenperin, Febri Hendri Antoni Arief menyoroti dua faktor utama yang menyebabkan penurunan PMI Manufaktur Juni 2025.

"Dua faktor yang menyebabkan PMI Indonesia pada Juni 2025 masih kontraksi dan menurun dibanding bulan Mei yakni, perusahaan industri masih menunggu kebijakan pro bisnis. Kedua, pelemahan permintaan pasar ekspor dan pasar domestik serta penurunan daya beli di Indonesia,” kata Febri melalui siaran resmi, Selasa (1/7).

Febri bilang, pengusaha masih menunggu kebijakan pro industri, seperti kebijakan yang melindungi pasar domestik dari gempuran impor produk jadi murah. Kebijakan ini diharapkan mampu membatasi barang impor murah yang telah mempersempit permintaan produk dalam negeri di pasar domestik di tengah tekanan penurunan daya beli masyarakat.

Baca Juga: PMI Manufaktur Terus Kontraksi, Pertumbuhan Ekonomi Kuartal II Diramal Makin Melemah

Salah satu kebijakan pro industri yang melindungi produk dalam negeri di pasar domestik yang ditunggu pengusaha adalah revisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 8 Tahun 2024. Revisi kebijakan relaksasi impor produk jadi yang disampaikan dalam paket Kebijakan Deregulasi dan Kemudahan Berusaha ini telah diumumkan pada Senin (30/6).

Febri meyakini, kebijakan ini menjadi langkah positif yang dapat menumbuhkan optimisme pengusaha di sektor industri. Hanya saja, Febri memperkirakan dampaknya baru akan terasa sekitar dua bulan ke depan, terutama pada industri tekstil, pakaian jadi dan aksesoris pakaian jadi.

Selain itu, pelaku industri masih menunggu penetapan kebijakan perubahan pelabuhan masuk (entry port) untuk produk impor jadi. Selama ini, produk impor jadi berharga murah masuk melalui berbagai pelabuhan Indonesia.

Dengan adanya pembatasan entry port ini, gempuran produk impor murah akan berkurang, sekaligus meningkatkan permintaan domestik produk dalam negeri. “Pembatasan entry port bagi produk impor jadi berharga murah sangat penting, terutama bagi industri yang produknya sulit bersaing dengan produk impor murah yang berasal dari negara produsen yang mengalami oversupply," terang Febri.

Kebijakan ini akan mampu meningkatkan permintaan utilisasi industri yang memproduksi barang yang bersaing ketat dengan produk impor murah. Febri menambahkan, pelaku industri juga menantikan penandatanganan  Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU CEPA), terutama bagi perusahaan yang berorientasi ekspor.

Situasi perang dagang global memaksa industri berorientasi ekspor untuk aktif membuka pasar dengan memperluas negara tujuan ekspor baru. IEU-CEPA diharapkan bisa memfasilitasi, sehingga sebagian produk manufaktur Indonesia bisa masuk ke Uni Eropa dan bersaing dengan produk manufaktur negara lainnya.

Baca Juga: PMI Manufaktur RI Kembali Anjlok, Gelombang PHK Dinilai Bisa Bertambah

Febri turut menyoroti faktor penurunan daya beli masyarakat. Dalam situasi ini, masyarakat lebih memprioritaskan belanja untuk memenuhi kebutuhan dasar dibandingkan mengkonsumsi produk manufaktur, terutama produk sekunder atau tersier.

Kelompok masyarakat ekonomi menengah ke atas juga cenderung memprioritaskan untuk menabung atau berinvestasi guna mengantisipasi risiko ke depan daripada membeli produk manufaktur tingkatan tertentu. Di sisi lain, belanja pemerintah terutama belanja atas produk-produk manufaktur baru dimulai pada pertengahan Juni 2025.

Menurut Febri, belanja pemerintah pada proyek infrastruktur dan kontruksi sudah dirasakan dampaknya terutama bagi industri keramik, semen, kaca, besi dan baja. Begitu juga dengan kebijakan insentif pemerintah untuk liburan sekolah tahun ini yang berlangsung pada akhir bulan Juni.

Dampak insentif pemerintah pada saat liburan sekolah dirasakan oleh industri makanan, industri minuman, industri kerta, serta industri tekstil dan industri pakaian jadi.

"Dengan dimulai belanja pemerintah atas produk manufaktur, insentif liburan sekolah serta kenaikan permintaan menjelang tahun ajaran baru diharapkan bisa meningkatkan daya beli masyarakat terutama untuk membeli produk-produk manufaktur,” ujar Febri.

Secara terpisah, Wakil Menteri Perindustrian Faisol Riza berharap PMI Manufaktur Indonesia bisa kembali melaju ke fase ekspansi pada semester II-2025. Jika tekanan terhadap industri masih berlanjut, Faisol menyampaikan kemungkinan bagi pemerintah untuk melakukan intervensi, terutama untuk meningkatkan daya beli masyarakat.

"Kalau situasinya seperti ini (PMI terus mengalami kontraksi), mungkin akan ada intervensi. Kita tunggu saja, kalau Menko (Menteri Koordinator Bidang Perekonomian) mengundang untuk membahas lebih lanjut mengenai situasi seperti ini, nanti kami akan sampaikan," kata Faisol saat ditemui di Kantor Kemenperin, Selasa (1/7).

Menurut Faisol, eskalasi geopolitik global menjadi pertimbangan bagi pelaku industri. Situasi ini membawa ketidakpastian dari sisi pasokan bahan baku yang akan berdampak terhadap produksi dan stok produk.

Faisol menegaskan, pemerintah melalui Kementerian dan Lembaga (K/L) terkait akan terus mencermati perkembangan dari situasi ini. "Ada beberapa yang jadi catatan kami. Salah satunya perlu ada koordinasi dan kerja sama yang lebih intens antar K/L," ungkap Faisol.

Baca Juga: PMI Manufaktur Indonesia Terkontraksi Lagi Usai Turun ke Level 46,9 pada Juni 2025

Catatan Pelaku Industri

Dihubungi terpisah, Direktur Riset dan Komunikasi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Denis Permana menyoroti PMI Juni 2025 yang berada di level 46,9 menandai kontraksi manufaktur yang makin dalam dan konsisten selama tiga bulan terakhir. 

Merujuk laporan PMI Manufaktur, penurunan pesanan baru industri secara berturut-turut menunjukkan lemahnya permintaan riil di pasar, baik dari konsumen dalam negeri maupun dari pasar ekspor yang stagnan. "Ini selaras dengan kekhawatiran dunia usaha terhadap daya beli yang belum pulih dan kondisi ekonomi global yang masih penuh ketidakpastian," kata Denis kepada Kontan.co.id, Selasa (1/7).

Selain itu, penurunan PMI juga dipengaruhi oleh variabel penurunan output dan pembelian bahan baku, serta variabel tenaga kerja yang juga menurun. Menurut Denis, hal ini sekaligus menjadi indikator bahwa pelaku industri tengah melakukan efisiensi akibat tekanan pasar dan beban biaya.

Bagi dunia usaha, kondisi ini menjadi sinyal bahwa sektor manufaktur yang menjadi tulang punggung penciptaan lapangan kerja membutuhkan dukungan konkret. Apindo pun memandang perlu adanya percepatan stimulus daya beli, insentif produksi, serta perbaikan ekosistem logistik dan energi agar industri bisa menjaga kelangsungan produksi. 

"Tak kalah penting untuk menjaga ekspektasi dan keyakinan pelaku usaha, karena sebagaimana tercermin dalam laporan PMI Index, ada kecenderungan meningkatnya kekhawatiran terhadap prospek ekonomi dan berkurangnya optimisme untuk ekspansi dalam waktu dekat," ungkap Denis.

Di sisi lain, Apindo menyambut baik langkah pemerintah melalui peluncuran Paket Deregulasi Tahap Pertama. Secara momentum, kebijakan yang diumumkan pada akhir Juni ini dinilai tepat sebagai sinyal bahwa pemerintah mendengar dan merespons berbagai masukan dan aspirasi dari dunia usaha.

Baca Juga: PMI yang Terkontraksi Tampaknya Tak Berpengaruh ke Emiten-Emiten Ini

Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki) Edy Suyanto menyoroti tingkat utilisasi industri keramik semester I-2025 yang berada di level 70%-71%. Meski naik dibanding utilisasi 60% pada semester I-2024, tapi capaian pada paruh pertama tahun ini masih di bawah target Asaki pada level utilisasi 75%.

Faktor utamanya adalah masalah gangguan pasokan dan mahalnya biaya tambahan gas industri. Kemudian, adanya gangguan dari produk impor keramik, terutama dari India. "Pasar Indonesia sebagai salah satu negara pengalihan pasar ekspor keramik ke Amerika Serikat terdampak perang tarif," kata Edy.

Edy meyakini ada outlook yang lebih positif pada semester II-2025. Industri keramik berharap pada realisasi program 3 juta rumah yang diproyeksikan bisa menciptakan permintaan baru dari pasar dalam negeri, dengan estimasi bisa mendongkrak sekitar 10%-15% tingkat utilisasi produksi keramik.

"Secara tren permintaan keramik biasanya meningkat di semester kedua, khususnya di kuartal ketiga. Asaki berharap banyak peningkatan permintaan ini bisa ditopang oleh proyek pembangunan 3 juta unit rumah," tandas Edy.

Selanjutnya: Simak Proyeksi Pergerakan IHSG untuk Perdagangan Rabu (2/7)

Menarik Dibaca: 5 Zodiak Paling Impulsif yang Tidak Takut Mengambil Risiko, Siapa Saja?

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Owe-some! Mitigasi Risiko SP2DK dan Pemeriksaan Pajak

[X]
×