Reporter: Siti Masitoh | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengajak negara-negara dalam forum Global Platform for Disaster Risk Reduction (GPDRR) berkolaborasi untuk penanggulangan bencana.
“Kita masih perlu meningkatkan kerja sama internasional, infrastruktur penting, dan target layanan. Untuk itu, kita perlu memperkuat kolaborasi melalui platform global ini untuk mencapai target,” ujar Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu, Febrio Kacaribu, dalam keterangan tertulisnya Sabtu, (28/5).
Dia menuturkan, selain tantangan seperti pandemi, inflasi, pengetatan kebijakan moneter dan perlambatan ekonomi, ekonomi dunia tidak terkecuali Indonesia, ke depan juga perlu mengantisipasi risiko makroekonomi yang berhubungan bencana terkait iklim dengan cara yang adil dan terjangkau.
Peningkatan frekuensi dan dampak dari bencana terkait iklim di beberapa tahun terakhir, kata dia, telah menggarisbawahi kian besarnya biaya ekonomi, lingkungan, dan sosial dari perubahan iklim. Febrio berpendapat emisi karbon akan terus meningkat dan menyebabkan dampak ekonomi dan fisik semakin besar apabila tidak dimitigasi dengan kebijakan.
Baca Juga: Kemenperin Tingkatkan Kemampuan Industri Lokal Hadapi Bencana Alam
“Paket kebijakan hijau yang komprehensif diperlukan, dengan harapan upaya transisi menuju ketahanan iklim ini tetap mampu meningkatkan pertumbuhan dan penciptaan lapangan Kerja," kata dia.
Adapun salah satu poin strategis acara ini adalah berdekatan dengan akan dilaksanakannya inter-governmental midterm review Kerangka Sendai pada 2023. Kerangka Sendai merupakan kerangka mitigasi risiko bencana yang dilaksanakan sejak tahun 2015 dan ditargetkan rampung pada hingga 2030.
Setelah tujuh tahun berjalan, terdapat 133 negara yang belum memulai, 54 negara dalam progress, dua negara siap untuk proses validasi, dan enam negara telah divalidasi dari total 195 negara. Dalam GPDRR 2022, seluruh negara anggota dan pemangku kepentingan di berbagai level akan mereview pencapaian Kerangka Sendai.
Terlepas dari progres mayoritas anggota yang masih jauh dari selesai, Indonesia telah mencapai berbagai progress dalam tujuh tahun terakhir untuk penanganan risiko bencana. “Kita telah menerbitkan berbagai bauran regulasi dan panduan teknis untuk penanggulangan risiko bencana,” kata Febrio.
Beberapa upaya yang telah diterbitkan pemerintah adalah regulasi dan panduan pembangunan rumah tahan gempa, integrasi pengurangan risiko dengan sistem perencanaan spasial, serta penguatan data.
Baca Juga: Penahan Air Laut Jebol, Kawasan Tanjung Emas Semarang Banjir Rob Sedalam 1,5 Meter
Selain itu, berbagai program dan kegiatan juga dilakukan untuk meningkatkan kapasitas pemerintah daerah terutama dalam mengembangkan rencana penanggulangan bencana di lokasi mereka sendiri.
Untuk memitigasi risiko bencana, kata dia, salah satu pencapaian Indonesia yang dijadikan contoh dalam pertemuan ini adalah pembentukan Strategi Pendanaan dan Asuransi Risiko Bencana atau Disaster Risk Financing and Insurance (DRFI).
Strategi DRFI berisi campuran instrumen yang memungkinkan pemerintah untuk meminimalkan risiko bencana seperti mengatur strategi pendanaan risiko bencana melalui APBN/APBD, maupun memindahkan risikonya kepada pihak ketiga, melalui pengasuransian aset pemerintah dan masyarakat.
Dana Bersama Bencana atau Pooling Fund Bencana (PFB) merupakan bagian dari DRFI dan dibentuk melalui Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2021. Di awal, PFB menyediakan dana tambahan untuk melengkapi anggaran kontingen bencana dan anggaran reguler untuk bencana jangka pendek.
Baca Juga: Tim Gabungan Lakukan Penanganan Banjir dan Longsor di Luwu, Sulawesi Selatan
Dalam jangka panjang, PFB dirancang sebagai alat asuransi terhadap risiko bencana. PFB dikelola oleh Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) dalam rangka memperkuat sinergi antara aksi perubahan iklim dan pengurangan risiko karena lebih dari 90% bencana alam di Indonesia adalah bencana hidrometeorologi seperti banjir, longsor, angin kencang, cuaca ekstrim, atau angin topan.
PFB memobilisasi dana terutama pada tahap prabencana dari APBN, APBD, dan sumber daya lainnya seperti sektor swasta, lembaga keuangan, masyarakat,negara mitra dan lain-lain.
"Dana tersebut akan digunakan untuk membiayai kegiatan terkait bencana pada tahap pra bencana, darurat, dan pasca bencana termasuk pengalihan risiko dengan memperoleh produk asuransi untuk melindungi aset publik dan masyarakat kita yang rentan seperti petani dan nelayan,” imbuhnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News