kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   0   0,00%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Kelas Menengah Turun Kelas, Indonesia Bisa Susah Keluar dari Midle Income Trap


Minggu, 01 September 2024 / 17:50 WIB
Kelas Menengah Turun Kelas, Indonesia Bisa Susah Keluar dari Midle Income Trap
ILUSTRASI. Sejumlah pekerja menyebrang di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, Selasa (16/4/2024). Jumlah kelas menengah yang terus mengalami penurunan harus menjadi perhatian yang serius bagi pemerintah.


Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Jumlah kelas menengah yang terus mengalami penurunan harus menjadi perhatian yang serius bagi pemerintah. Pasalnya, kelas menengah mempunyai peran penting dalam mendorong perekonomian Indonesia.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, jumlah penduduk kelas menengah selama lima tahun terakhir turun dari 57,33 juta orang pada 2019 menjadi 53,83 juta pada 2021.

Selanjutnya, jumlah masyarakat kelas menengah juga tercatat kembali turun pada 2022 menjadi 49,51 juta, turun pada 2023 menjadi 48,27 juta dan pada 2024 turun menjadi 47,85 juta.

Baca Juga: Masyarakat Kelas Menengah Indonesia Turun, Penerimaan Negara Bisa Tergerus

Ekonom Senior Samuel Sekuritas Indonesia, Fithra Faisal Hastiadi mengatakan bahwa saat ini kelas menengah sedang berjuang. Bahkan berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 2023 ini memberikan gambaran yang justru memprihatinkan.

Fithra menyebut, terdapat peningkatan 13,4% jumlah tunggakan pinjaman di antara peminjam berusia 17 tahun hingga 34 tahun, melampaui batas tunggakan 30 hari. Lonjakan ini cukup signifikan jika dibandingkan dengan tahun 2021, ketika tingkat tunggakan di antara kelompok usia ini mencapai 8,1%.

"Lonjakan ini berarti bahwa saat ini, rata-rata 1,5 juta peminjam berusia di bawah 35 tahun sedang berjuang melawan tunggakan pinjaman online (pinjol), yang merupakan 57% dari seluruh peminjam yang menunggak," ujar Fithra kepada Kontan.co.id, Minggu (1/9).

Baca Juga: Masyarakat Kelas Menengah Banyak Turun Kasta, Emiten Ritel Kena Imbasnya?

Menurutnya, ketidakseimbangan antara jumlah pinjaman dan pendapatan ini telah menempatkan kelas menengah di usia produktif dalam posisi keuangan yang genting.

Dari perspektif makro, hal ini akan menimbulkan efek konsumsi yang tertinggal antar waktu, sehingga menghambat kemampuan kelas menengah untuk mempertahankan konsumsi di masa depan dan dengan demikian menghambat pertumbuhan ekonomi di masa depan.

Faisal juga menyebut, kelas menengah telah terabaikan selama lima tahun terakhir. Pengabaian ini terjadi karena kebijakan pemerintah terlalu fokus pada kelompok 20% terbawah dan 10% teratas dalam hal pendapatan.

Menurutnya, ada beberapa gangguan kebijakan pemerintah yang saat ini menimbulkan tantangan bagi kelas menengah.

Pertama, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 36 Tahun 2023 yang terkesan terburu-buru dan dapat mengganggu ekosistem jasa titipan (jastip) yang merupakan strategi bertahan hidup yang krusial bagi kelas menengah.

Selain itu, ada pula rencana pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% pada tahun 2025. Dari simulasi yang Ia lakukan, kenaikan ini tidak akan menghasilkan pendapatan negara yang signifikan, namun berdampak negatif terhadap belanja konsumen dan inflasi yang bisa menambah kesulitan bagi kelas menengah.

Baca Juga: Pemerintah akan Evaluasi Pariwisata Bali, Luhut Kesal dengan Kelakuan Turis Asing

Tidak hanya, indikator lainnya seperti Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Februari 2024 juga menjelaskan lebih lanjut tentang perjuangan kelompok menengah ini.

Beberapa indikator yang memprihatinkan perlu mendapat perhatian dari pemerintah. Misalnya saja Indeks Ekspektasi Konsumen yang turun menjadi 110,9 pada Februari 2024. Begitu juga dengan Indeks Penghasikan Saat Ini yang turun menjadi 112,1 serta Indeks Ketersediaan Lapangan Kerja yang juga turun menjadi 110,1.

Menurut Fithra, sentimen pesimis tersebut sebagian besar disebabkan oleh tekanan inflasi, terutama dari kenaikan harga pangan selama bulan Februari yang mengikis daya beli konsumen dan membuat mereka merasa bahwa pekerjaan mereka tidak cukup untuk mengimbangi kenaikan harga.

"Gagasan untuk keluar dari jebakan pendapatan menengah tidak ada artinya tanpa pertumbuhan kelas menengah. Oleh karena itu, pemerintah tidak boleh lagi mengabaikan kelas menengah, kebijakan harus diarahkan untuk memfasilitasi pertumbuhannya," katanya.

Baca Juga: Proporsi Setoran Pajak Kelas Menengah dan Orang Kaya RI Hampir Setara

Fithra menurutnya, kelas menengah tidak membutuhkan bantuan sosial (bansos) seperti beras. Yang mereka butuhkan adalah pekerjaan yang dapat mempercepat pendapatannya.

"Bagaimana kita bisa mencapai itu? Temuan kami menunjukkan bahwa meningkatkan kontribusi sektor manufaktur terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang hanya sekitar 19% adalah kuncinya. Hal ini juga akan menjadi fondasi bagi pertumbuhan sektor jasa untuk menciptakan lebih banyak lapangan kerja," jelasnya.

Namun, berkaca dengan pengalaman masa lalu Indonesia dengan deindustrialisasi yang terlalu cepat menjadi peringatan. Untuk menghadapi tantangan tersebut, maka Indonesia harus mengadopsi pendekatan yang lebih berpikiran maju dengan memprioritaskan para pembuat kebijakan yang mampu mengarahkan negara menuju industrialisasi kembali.

"Seiring dengan upaya Indonesia untuk keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah, memanfaatkan potensi penuh dari sektor manufaktur menjadi sangat penting," kata Fithra. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×