kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

"Kebusukan" pengelolaan sampah Ibu Kota


Senin, 17 Februari 2014 / 10:44 WIB
ILUSTRASI. Periksa Kurs Dollar-Rupiah di BRI Jelang Tengah Hari Ini, Rabu 28 September 2022. KONTAN/Carolus Agus Waluyo


Sumber: Kompas.com | Editor: Dikky Setiawan

JAKARTA. Mengurus sampah ternyata tidak mudah. Hampir Rp 1 triliun Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menggulirkan dana untuk pengelolaan sampah. Pemerintah menggaet swasta membantu pengangkutan ataupun pengolahan di tempat pembuangan akhir. Namun, sampah masih belum teratasi, masih banyak terjadi penumpukan sampah.

Pengangkutan molor di tengah bertambahnya produksi sampah. Sampah tercecer di sejumlah depo dan tempat penampungan sementara (TPS). Warga pun memprotes kondisi itu.

Sementara pengelola depo dan sopir berkilah, pengangkutan ke Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantar Gebang, Kota Bekasi, molor dari 3-4 jam menjadi 10-12 jam. Lamanya antrean di titik buang menjadi pemicunya.

Jumat (14/2) lalu, rute pengangkutan sampah dari Jakarta padat kendaraan, terutama di ruas Cibubur dan Cileungsi. Akses utama menuju kawasan itu rusak berat. Lubang jalan menganga, antara lain di Jalan Raya Narogong di Cileungsi, membuat truk pengangkut sampah terantuk.

Selain kemacetan, waktu pembuangan molor karena truk harus mengantre berjam-jam di titik buang. Waktu mengantre kerap molor sampai 10 jam sehingga tak jarang sopir harus menginap di kabin truk.

Berang

Melihat karut-marut pengelolaan sampah Ibu Kota, wajar jika Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama berang. Sebab, Pemprov DKI sudah banyak mengeluarkan dana. Namun, persoalan sampah masih belum beres.

Paling tidak, biaya pengangkutan dan pengelolaan sampah mencapai Rp 943 miliar per tahun. Sementara masih ada timbunan sampah di TPS dan sekitar permukiman warga.

Basuki menuding ada mafia di balik pengelolaan sampah. Mereka mengambil keuntungan dari pengelolaan sampah Jakarta. Siapakah mafia itu?

Basuki tidak menjelaskan secara detail. Dugaan serupa disampaikan peneliti dari Fakultas Teknik Universitas Indonesia, Firdaus Ali. Indikasi keterlibatan mafia terlihat dari pembiaran kacaunya pengelolaan sampah. Padahal, dalam mata rantai pengelolaan, ada pengawas yang dilibatkan. Sayangnya, mekanisme pengawasan ini tumpul atau ditumpulkan.

”Mafia inilah yang harus diatasi lebih dahulu sebelum menata pengangkutan dan pengolahan sampah di tempat pembuangan akhir,” kata Firdaus.

Tak sesuai rencana

Keterlibatan swasta dalam pengelolaan sampah Jakarta ada pada pengangkutan dan pengolahan. Pengangkutan dilakukan 26 perusahaan pengangkut sampah. Kontrak kerja sama dengan mereka diputus per 31 Desember 2013.

Pengolahan sampah di TPST Bantar Gebang diserahkan Pemprov DKI Jakarta kepada dua pemenang tender, yakni PT Godang Tua Jaya (GTJ) dan PT Navigat Organic Energy.

Kontrak kerja sama dengan mereka berlangsung dari Desember 2008 hingga 2023. Di awal kontrak, PT GTJ berkomitmen akan menerapkan teknologi sanitary landfillyang benar dan penerapan proses 3R, yaitureduce, reuse, recycle (pengurangan, penggunaan ulang, dan pengolahan ulang), serta pengomposan sampah di TPST Bantar Gebang.

Dalam rencana PT GTJ, sedikitnya ada empat jenis fasilitas pengelolaan sampah yang akan dibangun bertahap mulai 2009. Rencana ini meliputi pembangunan fasilitas pengolahan sampah dengan teknologi Galfad (gasification, landfill, and anaerobic digestion), fasilitas daur ulang sampah plastik, fasilitas pengolahan gas metana, dan fasilitas pembangkit listrik (Kompas, 4 Maret 2009).

Kini, lima tahun setelah penandatanganan kerja sama itu, sejumlah rencana belum terealisasi. Tak jauh dari kantor pengelola, air lindi mengalir di jalan utama kawasan. Pada Jumat, beton jalan utama TPST Bantar Gebang retak, bergelombang, dan berlumpur bagai kubangan.

Bukan hanya itu, model sanitary landfilldinilai belum berjalan. Sebab, tumpukan sampah seharusnya tidak lebih dari 12 meter, tetapi di beberapa lokasi kini sudah mencapai 30 meter.

”Mengacu pada model pengolahan itu, setiap dua meter tumpukan sampah seharusnya dilapisi tanah sebelum ditimpa sampah baru. Namun, sampah ditumpuk dan dipadatkan begitu saja tanpa tanah,” kata Bagong Suyoto dari Dewan Daerah Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) DKI Jakarta.

Hal ini terjadi karena pengawasan pelaksanaan kontrak kerja sama tidak jalan dengan baik. Bagong mengingatkan pentingnya beberapa aspek pengelolaan sampah, seperti hukum, kelembagaan, pembiayaan, partisipasi masyarakat, dan teknologi.

”Semua tidak boleh ditinggalkan, harus dipadukan dalam tata kelola yang utuh,” katanya.

(Mukhamad Kurniawan/B Josie Susilo/Andy Riza Hidayat/KOMPAS CETAK)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×