Reporter: Lamgiat Siringoringo | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kebijakan yang masih membolehkan ekspor biji mentah nikel masih menjadi polemik. Pemerintah sebelumnya sempat melarang ekspor nikel dengan alasan pembangunan smelter sudah mulai berjalan dan demi peningkatan kualitas produk nikel Indonesia.
Namun Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan kemudian mencabut larangan ekspor nikel itu. Kebijakan ini dianggap tidak berpihak penambang nikel.
Pengamat ekonomi Ichsanuddin Noorsy menilai kebijakan membolehkan ekspor bijih nikel membuat lesu penambang nikel berkalori rendah dan berkalori tinggi. Penambang nikel yang punya produk kalori rendah di bawah 11% pasti tidak mau membangun smelter dan mengolah nikel mentah. Pada akhirnya bijih mentah nikel dengan kisaran kalori 11% dijual murah, padahal masih bisa diolah menjadi lithium.
Baca Juga: Aneka Tambang (ANTM) segera operasikan tambang baru, ini jumlah cadangannya
"Yang rugi Indonesia karena tidak dapat nilai tambah. Itu dari aspek kebijakan tidak adil," kata Ichsanuddin, Jumat (29/11).
Ia juga menyebut negara China yang diuntungkan dari kebijakan membolehkan ekspor nikel karena negara tersebut mengambil nikel dari Indonesia untuk menjadi bahan baku baterai mobil listrik. Padahal seharusnya Indonesia bisa lebih diuntungkan saat nikel itu diolah lebih dulu di dalam negeri.
Kebijakan larangan ekspor bijih nikel yang dianulir juga membuktikan inkonsistensi pemerintah. Ichsanuddin juga melihat kebijakan itu membuat iklim investasi di Indonesia tidak memiliki kepastian.
Baca Juga: Dipoles Harga Nikel, Begini Prospek Saham INCO
Hal ini juga mengonfirmasi pandangan Bank Dunia terhadap Indonesia sebagai negara yang inkonsistensi terhadap investor karena anomali kebijakannya.
"Jadi walaupun buka pintu lebar-lebar buat investor ketika kebijakannya tidak konsisten maka dibilang sebagai negara yang sulit dipercaya," ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News