kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45887,73   13,33   1.52%
  • EMAS1.365.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Kasus DBD Tengah Tinggi, Ini Faktor Penyebabnya


Senin, 13 Mei 2024 / 07:10 WIB
Kasus DBD Tengah Tinggi, Ini Faktor Penyebabnya
ILUSTRASI. JAYAPURA,11/5 - DEMAM BERDARAH. Amanda (1) seorang balita penderita demam berdarah dijagai oleh Kepala Ruangan Rawat Anak, Siti Rafiah saat menjalani perawatan intensif, di RS Marthen Indey, di Jayapura, Papua, Selasa (11/5). Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) dalam bahasa medisnya disebut Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti dan Aedes Albopictus, yang menyebabkan gangguan pada pembuluh darah kapiler dan sistem pembekuan sehingga mengakibatkan perdarahan. FOTO ANTARA/Anang Budiono/ss/hp/10


Reporter: Arif Ferdianto | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) tengah meningkat di masyarakat, digadang-gadang bukan hanya di Tanah Air, peningkatan kasus DBD juga terjadi di luar negeri. Lantas apa penyebab lonjakan kasus ini?

Epidemiolog sekaligus Pakar Keamanan Kesehatan Lingkungan Global Dicky Budiman mengatakan, peningkatan kasus DBD juga terjadi di dunia bahkan lebih tinggi dari Indonesia.

Baca Juga: Darurat DBD, BPJS Kesehatan Catat Lonjakan Kasus hingga Klaim di Sejumlah Daerah

“Bukan hanya terjadi di Indonesia tapi di dunia secara umum, pada wilayah atau negara yang endemik DBD ini relatif sama terjadi peningkatan yang jauh lebih tinggi dari tahun sebelumnya,” ujarnya kepada Kontan.co.id, Minggu (12/5).

Dicky menjelaskan, lonjakan kasus DBD bukan hanya disebabkan oleh pemanasan global yang semakin memburuk sehingga nyamuk lebih mudah dan cepat berkembang serta menyebar ke berbagai wilayah.

“Juga akibat dari pembangunan kota yang tidak tertata baik, saluran air yang buruk, banyak genangan air, banyak musim hujan yang lebih sering, dan perilaku manusia itu sendiri yang cenderung mengabaikan deteksi keberadaan sarang nyamuk di tempat tinggalnya,” jelasnya.

Baca Juga: Kasus DBD Sedang Tinggi, Ini Cara Menaikkan Trombosit untuk Sembuhkan Demam Berdarah

Dicky menilai, program pencegahan DBD di Indonesia tak semasif dilakukan seperti tahun 1990-an hingga 2000-an. Kala itu, berbagai program seperti menguras, mengubur dan menutup (3M) serta memakai kelambu begitu masif dilakukan.

“Sekarang telah menurun sekali kewaspadaan pemahamannya, bahkan strategi promosi kesehatannya. Ini berdampak pada peningkatan kasus demam berdarah,” terangnya.

Lebih lanjut, Dicky menambahkan, untuk mencegah lonjakan kasus DBD lebih parah lagi masyarakat dan pemerintah perlu menerapkan konsep trias epidemiologi atau segitiga epidemiologi yakni host (manusia), environtment (lingkungan), dan agent (virus DBD).

“Bagaimana perilaku manusianya, tempat tinggalnya karena menghindari gigitan nyamuk. Sekarang nyamuk bukan hanya menggigit 2 jam setelah terbit matahari, tapi di malam hari juga menggigit karena di kota-kota besar pada malam hari juga terang,” katanya.

Kedua, faktor lingkungan, menurutnya tidak boleh ada genangan air dan jentik nyamuk di sekitar lingkungan untuk mengurangi potensi wabah.

Baca Juga: Halodoc Kenalkan Lagi Layanan Home Lab dan Vaksinasi

“Ketiga, faktor agennya atau vitus itu sendiri kita bisa riset terkait virus dan faktornya misalnya ada vaksin DBD. Semuanya trias epidemiologi itu harus jadi satu upaya dikolaborasi secara komprehensif untuk pencegahan,” pungkasnya.

Untuk diketahui, berdasarkan catatan Dinas Kesehatan DKI Jakarta, jumlah kasus DBD di Jakarta pada periode Januari hingga 11 Mei 2023 mencapai 6.740 kasus, di mana pada bulan April 2024 menjadi yang paling banyak yakni 3.092 kasus.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×