Reporter: Dani Prasetya | Editor: Djumyati P.
JAKARTA. Pengusaha mengkhawatirkan pertambahan pengangguran yang mencapai 1,3 juta orang tiap tahun.
Menurut data, saat ini jumlah pengangguran di Indonesia kira-kira sebanyak 9 juta orang. Tapi Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Suryo Bambang Sulisto mengutarakan, pertumbuhannya tingg lantaran kesenjangan antara jumlah pertumbuhan angkatan kerja dengan lapangan kerja yang tersedia terutama pada sektor formal.
Setiap tahunnya, angkatan kerja tumbuh sekitar 2,91 juta orang. Jumlah itu tidak diimbangi dengan kapasitas lapangan kerja yang hanya sanggup menampung 1,6 juta orang. Artinya, sekitar 1,3 juta orang menganggur setiap tahunnya.
Tak cukup itu, faktor pendidikan memicu perkembangan pengangguran terbuka. Saat ini, apalagi, industri dan penyedia jasa menuntut kualitas calon pekerja yang terampil dan ahli.
Berdasarkan tingkat pendidikan 8,14 juta pengangguran terbuka, sekitar 20% berpendidikan sampai dengan tamat SD, lalu 22,6% tamatan SLTP, 40,07% tamat SLTA, 4% tamat diploma, dan 5,7% tamat sarjana. Kondisi yang paling memprihatinkan, katanya, terjadi pada lulusan SLTA karena dalam rentang 2005-2009 mengalami kenaikan mencapai enam kali lipat.
Akibatnya, hal itu berdampak pada tingkat produktivitas dunia usaha menduduki peringkat 59. Padahal, Thailand memegang posisi 27 dan Malaysia menempati peringkat 18.
Parahnya lagi, lanjutnya, terdapat data pengangguran terselubung yang jumlahnya mencapai 15,73 juta orang. Belum lagi ditambah 18,46 juta orang yang tidak bekerja penuh. Golongan tersebut masuk ke dalam kelompok rentan pendapatan berproduktivitas rendah.
Pemerintah memang membuka kesempatan kerja melalui program Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi (MP3EI). Program pemerintah itu diprediksi akan membawa Indonesia mengantongi Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar US$ 4,5 triliun pada 2025. Sekaligus meningkatkan pendapatan per kapita 300 juta orang menjadi US$ 15.000.
Namun, masalahnya, 300 juta orang itu merupakan tantangan bagi pemerintah dan semua pihak apabila berada pada level tidak mapan dalam pekerjaan. Dengan demikian, Indonesia dihantui beban untuk membuka lapangan pekerjaan melalui investasi sarana prasarana produksi, tapi sekaligus mempersiapkan tenaga kerja berproduktivitas tinggi.
Apalagi, pengaruh teknologi dan tuntutan efisiensi kerja menyebabkan penyerapan tenaga kerja terus menurun. Tiap tahun, sektor industri itu membuat penurunan daya serap tenaga kerja mencapai 200.000 orang per tahun per 1% pertumbuhan ekonomi.
Dia meyakini, apabila pertumbuhan ekonomi mencapai 7%-8% maka angkatan kerja yang terus bertambah bisa diserap sektor formal. Hanya, upaya tersebut tidak mudah akibat adanya perlambatan ekonomi dunia, iklim investasi dan infrastruktur, serta persoalan tenaga kerja.
\'\'Kita harus lihat potensi usaha pada tataran menengah, kecil, serta mikro sebagai penampung tenaga kerja,\'\' ungkap dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News