kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Jurnalis terjepit narasumber, pemilik media, masyarakat apatis


Rabu, 28 Desember 2011 / 12:33 WIB
Jurnalis terjepit narasumber, pemilik media, masyarakat apatis
ILUSTRASI. Minat risiko investor reksadana semakin membaik pada tahun ini.


Reporter: Muhammad Yazid, Umar Idris | Editor: Umar Idris

JAKARTA. Tahun 2011 bisa dibilang bukan tahun yang ramah untuk kebebasan pers, keselamatan jurnalis, penegakan etika jurnalistik dan serikat pekerja media. Sepanjang tahun ini, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta mencatat sejumlah tren kasus kekerasan terhadap wartawan, kasus perburuhan di media dan pelanggaran etika jurnalistik yang justru kian mengkhawatirkan yang terjadi di Jakarta dan sekitarnya. "Jika dibiarkan tanpa upaya konkret mengatasinya, bisa-bisa pada akhir 2012, jumlah kasus kekerasan terhadap jurnalis, pelanggaran etika jurnalistik, dan sengketa perburuhan di media, jadi bertambah berkali-kali lipat," kata Wahyu Dhyatmika, Ketua AJI Jakarta, dalam rilis kepada media, Rabu (28/12).

Catatan akhir tahun AJI Jakarta menyoroti seputar kebebasan pers, persoalan perburuhan di media, dan kasus kekerasan yang menimpa para awak media.

KEKERASAN TERHADAP JURNALIS: Narasumber kian beringas

Pada 2011 ini, makin banyak kasus dimana narasumber atau orang yang diberitakan media, melakukan kekerasan pada jurnalis. Sepanjang tahun ini, AJI Jakarta mencatat ada delapan (8) kasus kekerasan terhadap jurnalis yang terjadi Jakarta dan sekitarnya.

Pada Mei 2011 misalnya, terjadi kekerasan atas jurnalis yang meliput unjukrasa damai yang digelar Asean People’s Forum, yang diselenggarakan sebelum KTT Asean di Jakarta. Pelakunya polisi yang mengawal aksi itu.

Dua bulan kemudian, pada Juli 2011, terjadi kasus kekerasan yang menimpa jurnalis TempoTV yang sedang meliput sengketa lahan antara warga dan TNI Angkatan Udara, di Bogor. Meski tak jelas benar siapa pelaku kekerasan –karena korban dipukul dari belakang dan pingsan--, kasus ini mengindikasikan masih adanya bahaya meliput kasus-kasus sensitif yang melibatkan aparatur keamanan dan tentara.

Yang paling mengenaskan adalah kasus penyekapan jurnalis Jurnal Bogor oleh pemilik Hotel Raja Inn, di Bogor, Jawa Barat. Sang pemilik hotel rupanya tak terima dengan pemberitaan harian itu, dua hari sebelumnya. Alih-alih menggunakan hak jawab dan mengadu ke Dewan Pers, si juragan hotel ini justru memilih menyatroni kantor media dan menyeret pergi wartawannya.

Puncak kasus kekerasan terhadap wartawan tahun ini adalah tawuran antara pelajar SMA 6 Jakarta dan sekelompok jurnalis di Bulungan, Jakarta Selatan, menyusul pengeroyokan dan perampasan kaset video milik juru kamera Trans7, pada pertengahan September lalu. Akibat salah paham, kekerasan meluas dan mengakibatkan setidaknya 4 jurnalis menderita luka-luka serius.

Tren yang menonjol dari semua kasus kekerasan ini adalah makin beringasnya narasumber yang merasa dirugikan, atau paling tidak—merasa terganggu oleh peliputan jurnalis. Kasus penyekapan di Bogor, mengamuknya pelajar SMA 6 Jakarta –untuk menyebut beberapa di antaranya— salahsatunya dipicu oleh ketaktahuan narasumber soal prosedur yang benar untuk memprotes sikap atau pemberitaan jurnalis dan media yang dinilai merugikan.

SERIKAT PEKERJA MEDIA: Tak Ada Rotan, Tak Ada Akar

Di bidang perburuhan sepanjang 2011, kita melihat bagaimana jurnalis seringkali menjadi korban ketika harus diberhentikan sepihak, tanpa konpensasi yang memadai. Empat (4) kasus Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang ditangani AJI Jakarta sepanjang tahun ini memiliki karakteristik serupa. Malangnya, keempat korban PHK sepihak ini tidak memiliki serikat pekerja –media tempat mereka bekerja melarang atau tidak mendorong adanya organisasi karyawan.

Meski tidak ada kasus union busting –pemberangusan serikat pekerja—seperti yang mewarnai 2010 lalu, bukan berarti 2011 lebih ramah untuk serikat pekerja yang digagas jurnalis di Ibukota. Ketiadaan kasus seperti yang terjadi pada Serikat Pekerja Indosiar dan Serikat Pekerja Suara Pembaruan pada dua tahun lalu, lebih disebabkan tiarapnya organisasi-organisasi buruh media.

Nahasnya nasib para aktivis serikat buruh media di dua media pionir itu menimbulkan efek jeri (chilling effect) yang membuat jurnalis enggan berurusan dengan pengorganisasian serikat pekerja. Kalau ada pepatah: tak ada rotan, akar pun jadi, maka kondisi serikat pekerja media di Jakarta selama 2011 bagaikan tak ada rotan, dan tak ada akar. Tak ada serikat pekerja media baru yang muncul, di tengah makin menurunnya animo jurnalis untuk terlibat dalam aksi-aksi pengorganisiran.

Dampaknya bisa panjang. Tanpa serikat pekerja, tidak ada check and balances di ruang redaksi, yang bisa mengimbangi praktek intervensi redaksi oleh pemodal atau bagian non-redaksi misalnya. Selain itu, tanpa serikat, tidak ada mekanisme dan instrumen untuk melindungi para jurnalis tak resmi (stringer, atau koresponden tak resmi yang sering disebut ‘tuyul’) yang jumlahnya kian banyak di berbagai media.

PENEGAKAN ETIKA JURNALISTIK: Kepercayaan Publik yang Kian Tergerus

Tren mengkhawatirkan yang sama tampak di bidang penegakan etika jurnalistik. Meski tak ada kasus besar seperti pembelian saham Krakatau Steel oleh jurnalis peliput Bursa Efek Indonesia seperti akhir tahun 2010 lalu, kondisi pemahaman dan penegakan etika jurnalistik sepanjang 2011 ini belum menampakkan wajah yang menggembirakan. Publik makin kehilangan kepercayaan pada media, yang dinilai kian partisan dan berpihak pada kepentingan pemilik media.

Pemusatan kepemilikan media di tangan sejumlah konglomerat yang punya agenda politik tertentu makin memperburuk keadaan, dan seolah membenarkan persepsi publik yang kian kritis mempertanyakan imparsialitas wartawan. Pelanggaran aturan soal pembatasan kepemilikan lembaga penyiaran (seperti yang diatur UU Penyiaran) terjadi secara kasat mata. Rekomendasi hukum Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) seperti membentur tembok. Seolah berlaku hukum rimba di industri media kita: siapa kuat, dia menang. Siapa berduit, dia yang didengar.

"Konsumen media kita tentu tidak buta dan tuli. Disuguhi santapan informasi macam itu, pembaca dan pemirsa media kini dituntut untuk punya antena lebih tajam untuk mencium agenda atau muatan politik tertentu di balik sebuah pemberitaan," terang Wahyu Dhyatmika.

Namun nyatanya, publik cenderung menggeneralisasi, menganggap semua jurnalis punya agenda yang sama. Kepercayaan mereka terhadap media pun merosot tajam. Kondisi ini membuat posisi jurnalis di lapangan kian terjepit.

Atas berbagai problem tersebut, AJI Jakarta merekomendasikan beberapa hal. Pertama, secara internal kepada jurnalis, untuk meningkatkan pemahaman dan penegakan kode etik jurnalistik demi menyelamatkan jurnalis dari banyak potensi krisis di tahun depan. Pelaksanaan kode etik secara konsekuen dan konsisten juga niscaya akan membuat kepercayaan publik lebih terjaga. Oleh karena itu, sudah saatnya, publik dilibatkan secara lebih intensif dalam upaya memantau dan menjaga perilaku jurnalis serta pemberitaan media massa.

Kedua, secara eksternal, publik dan pemilik media juga perlu memahami kode etik jurnalistik, UU Pers serta UU Penyiaran. Ketiga instrumen itu menyediakan rambu-rambu untuk memahami apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan jurnalis dan media. Sosialiasi atas prosedur pengaduan ke Dewan Pers juga harus ditingkatkan, agar jurnalis tidak jadi korban bogem mentah di lapangan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×