Reporter: Agus Triyono | Editor: Adi Wikanto
JAKARTA. Jumlah bahan pokok yang bebas PPN diperbanyak. Hal itu termaktub dalam hasil sidang putusan uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap Penjelasan Pasal 4A ayat (2) huruf b UU No. 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM), Selasa (28/2) lalu.
Dalam putusan tersebut, sidang putusan yang diketuai oleh Ketua MK, Arief Hidayat menyatakan, penjelasan pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang rincian "barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan rakyat banyak. Mereka menyatakan, penjelasan pasal tersebut tidak boleh dimaknai pembebasan PPN bahan pokok hanya terbatas pada sebelas bahan.
Dalam pertimbangan putusan yang dibacakan oleh I Dewa Gede Palguna, Hakim Konstitusi, MK menyatakan, keberadaan penjelasan pasal tersebut berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum.
Penjelasan tersebut bertentangan dengan pengertian dasar PPN yang terkadung dalam UU No. 42 Tahun 2009 sendiri. Dalam UU itu PPN hanya dikenakan kepada barang yang telah mengalami nilai tambah, yaitu melalui proses pabrikasi. Selain itu, penjelasan pasal tersebut juga tidak adil.
Dalam Pasal 4A ayat 2 UU yang sama, barang hasil tambang atau pengeboran, makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung tidak dikenakan PPN. Dalam Pasal 4A ayat (2) huruf C, UU yang sama, uang, emas batangan dan surat berharga juga tidak kena PPN.
"Sementara barang kebutuhan pokok yang secara faktual sangat dibutuhkan masyarakat banyak, dikenakan PPN hanya karena semara mata karena barang tidak masuk dalam sebelas yang bebas PPN seperti terdapat dalam penjelasan Pasal 4A ayat (2) huruf b," katanya seperti dikutip KONTAN dari putusan MK atas uji materi tersebut, Kamis (2/3).
Masyarakat dan pengacara yang mengatasnamakan Pejuang Hak Pangan Rakyat menggugat Penjelasan Pasal 4A ayat (2) huruf b UU No. 42 Tahun 2009. Penjelasan pasal tersebut menyatakan bahwa barang kebutuhann pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak terdiri dari sebelas komoditsas.
Komoditas tersebut antara lain; beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam yang baik beriodium maupun tidak, daging segar tanpa diolah tetapi melalui proses disembelih, dikuliti, dipotong, didinginkan, dibekukan, dikemas atau tidak dikemas. Selain itu, ada juga telur, susu, buah-buahan, dan sayuran.
Silviana, kuasa hukum penggugat mengatakan, keberadaan penjelasan pasal tersebut telah mengurangi dan melanggar hak konstitusional masyarakat. Akibat keberadaan penjelasan pasal tersebut, banyak komoditas pangan pokok seperti; kentang, terigu dan gandum, yang sebenarnya pokok dan banyak dibutuhkan masyarakat mahal dan sulit dibeli oleh masyarakat.
Bukan hanya itu saja, penjelasan pasal tersebut juga berpotensi menimbulkan diskriminasi di bagi masyarakat. "Beras, jagung, sagu tidak kena PPN tapi singkong, kentang, terigu kena PPN, itu diskriminasi, bagaimana mungkin suku yang makan singkong kena PPN beda dengan beras dan jagung padahal sama masyarakat Indonesia," katanya pekan lalu.
Enggartiasto Lukito, Menteri Perdagangan mengatakan, walau belum mempelajari detail, memperkirakan, putusan MK tersebut akan berdampak positif ke barang kebutuhan pokok. "Karena tidak kena PPN, harga akan bagus, turun," katanya di Komplek Istana (2/3).
Sri Mulyani, Menteri Keuangan menolak berkomentar terhadap dampak putusan tersebut ke pajak. "Saya baca dulu putusannya supaya tidak salah," katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News