Reporter: Rashif Usman | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah meneken Peraturan Presiden (Perpres) 63/2024 yang bertujuan menambah persetujuan penghindaran pajak berganda (P3B) yang termuat dalam Multilateral Instrument (MLI).
Langkah ini dinilai mampu mencegah penggerusan basis pemajakan dan penggeseran laba atau BEPS (Base Erosion & Profit Shifting).
Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan menjelaskan bahwa penerbitan Perpres 63/2024 ditujukan untuk menambah persetujuan penghindaran pajak berganda (P3B) yang termasuk dalam MLI.
"Memang betul kita terbitkan perpres 64/2024. Intinya Indonesia menandatangani MLI untuk memasukkan klausul mengenai pencegahan penggerusan basis pajak melalui BEPS di beberapa treaty yang selama ini memang belum ada," kata Suryo dalam konferensi pers APBN Kita, pekan lalu.
Baca Juga: Cegah Kebocoran Potensi Pajak, Pemerintah Tengah Persiapkan Penerapan Pajak Global
Suryo menjelaskan ada 13 P3B yang diusulkan untuk menjadi covered tax agreement (CTA). Adapun klausul rencana aksi BEPS dimasukkan ke dalam 13 P3B tanpa perlu mengadakan negosiasi bilateral dengan negara mitra.
"Jadi adanya Perpres ini kita bisa menerapkan rencana BEPS untuk mencegah penghindaran pajak dan penggerusan basis pemajakan," ujarnya.
Suryo menjelaskan 13 P3B yang dimaksud mulai dari P3B Indonesia-Austria, P3B Indonesia-Belarus, P3B Indonesia-Jerman, P3B Indonesia-Yordania, P3B Indonesia-Kuwait, P3B Indonesia-Mongolia, P3B Indonesia-Maroko, P3B Indonesia-Papua Nugini, P3B baru Indonesia-Singapura, P3B Indonesia-Sri Lanka, P3B Indonesia-Tunisia, P3B Indonesia-Ukraina dan P3B baru Indonesia-Uni Emirat Arab.
Sementara itu, Pengamat sekaligus Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute Prianto Budi Saptono menjelaskan bahwa MLI selama ini bertujuan untuk mencegah penghindaran pajak dan pengenaan pajak berganda.
Baca Juga: Potensi Penerimaan Pajak dari Masyarakat Berpenghasilan Tinggi Masih Cukup Besar
Menurutnya, saat ini banyak P3B atau tax treaty menggunakan asumsi transaksi yang berbasis pada harta berwujud atau intangible assets, karena saat itu belum ada digitalisasi ekonomi.
"Ketika era digital terus berkembang saat ini, efektivitas P3B menjadi berkurang. Oleh karena itu, muncul praktik BEPS oleh perusahaan multinasional atau MNE (Multinational Enterprises). Cara MNE adalah dengan memanfaatkan kesenjangan pajak di aturan pajak masing-masing negara dan ketidaselarasan pengaturan pajak," kata Prianto kepada Kontan, Selasa (2/7).
Untuk itu, negara anggota G20 menggandeng Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) merilis arah kebijakan pajak internasional berbasis kesepakatan.
Ada lima rencana aksi G20/OECD dan beberapa rencana aksi tersebut tercakup di pengaturan MLI, seperti hybrid mismatches, prevention of tax treaty abuse, permanent establishments, dispute resolution dan developing a Multilateral Instrument.
Baca Juga: Menunggu Ketahanan Penerimaan Pajak
Ia menjelaskan bahwa MLI diyakini dapat mencegah penghindaran pajak yang berakibat BEPS. Akan tetapi, nyatanya tantangan pajak di era ekonomi digital yang diatur BEPS Action Plan 1 masih belum tuntas. Oleh karenanya, muncul BEPS 2.0 yang fokus pada pilar satu dan pilar dua.
Lebih lanjut, Ia menjelaskan bahwa BEPS 2.0 Pilar Satu mengatur kembali penentuan bentuk usaha tetap berdasarkan nexus rule yang baru, yaitu pengaitan antara subjek, objek, dan tempat penghasilan tersebut bersumber.
Sementara itu, BEPS 2.0 pilar dua mengatur global minimum pajak jika BEPS 2.0 pilar satu masih belum efektif.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News