Sumber: Kompas.com | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Hubungan Amerika Serikat dan Iran kian memans pasca serangan Amerika Serikat ke Baghdad yang menewaskan pimpinan militer Iran Qasem Solaemani. Hal ini memicu kekhawatiran publik mengenai perang dunia ketiga lantaran keterlibatan negara-negara ke masing-masing pihak.
Direktur Riset Centre of Reform on Economics (Core) Piter Abdullah menilai, ketegangan kedua negara yang berlarut bisa menyebabkan defisit migas RI kian melebar. Pasalnya, dalam beberapa hari terakhir pasca serangan terjadi, harga minyak dunia terus terkerek naik.
"Ketegangan ini juga bisa berdampak ke perekonomian melalui jalur perdagangan misalnya dengan kenaikan harga minyak. Tentunya kita berharap kedua pihak bisa menahan diri dan menyelesaikan perbedaan dengan jalan damai," jelas Piter ketika dihubungi Kompas.com, Selasa (7/1/2020).
Melansir Reuters, harga minyak melesat setelah adanya laporan bahwa Iran menyerang pangkalan militer Amerika Serikat (AS) di Irak pada Rabu (8/1) pagi.
Baca Juga: Begini respons Donald Trump pasca Iran serang pangkalan militer AS di Irak
Hari ini pukul 7.12 WIB, harga minyak west texas intermediate (WTI) melonjak 3,41% ke US$ 64,84 per barel dari harga penutupan kemarin pada US$ 62,70 per barel. Harga minyak acuan AS ini kembali menyentuh level tertinggi sejak April 2019.
Dia pun mengatakan, ketegangan geopolitik tersebut merusak tren sentimen positif di pasar keuangan global yang terbangun paska kesepakatan perdang dagang antara AS dan China.
Kekhawatiran timbulnya perang akan menahan aliran modal asing masuk ke negara-negara berkembang termasuk ke Indonesia. Hal tersebut bakal berdampak negatif terhadap pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan nilai tukar rupiah.
Baca Juga: Iran mulai membalas AS, ini ringkasan pergerakan sejumlah instrumen investasi
Ekonomi Kian Tertekan
Senada dengan Piter, ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudistira menjelaskan, dengan meningkatnya ketegangan AS dan Iran, beban subsidi BBM dan tarif listrik bakal bengkak di awal tahun. Pasalnya, asumsi harga minyak mentah acuan RI (ICP) di APBN 2020 sebesar US$ 63 per barrel, jauh lebih rendah dari harga acuan global yang sudah mulai menanjak naik.
Menurutnya, hal itu bisa membuat harga BBM non subsidi jenis Pertamax dan Dex yang diturunkan kembali mengalami penyesuaian. "Sementara harga acuan Brent hari ini telah mencapai US$ 70,1 per barrel. Di sisi lain, harga BBM non subsidi jenis Pertamax dan Dex berisiko mengalami penyesuaian setelah sebelumnya turun di awal Januari," jelas Bhima.
Baca Juga: Iran bersumpah akan serang Israel dan Uni Emirat Arab bila AS membalas serangan
"Ini ujungnya adalah inflasi yang lebih tinggi dibanding tahun 2019. Jika tekanan pada harga kebutuhan pokok naik, ujungnya daya beli tertekan dan pertumbuhan ekonomi diprediksi merosot di bawah 4,8%," ujar dia lebih lanjut.
Selain itu, di pasar keuangan, dampak memanasnya hubungan AS dan Iran akan membuat investor kian takut berinvestasi di pasar negara berkembang. Investor akan cenderung main aman, misalnya dengan membeli dollar AS atau harga emas.
Baca Juga: Harga emas Antam melonjak Rp 15.000 per gram ke Rp 799.000 (8/1)
Indikator tersebut sudah terlihat dari naiknya harga emas dunia sebesar 3,5% dibandingkan pekan lalu menjadi US$ 1.572 per ons dan dollar indeks menguat tipis 0,85% dalam sepekan terakhir. "Kalau di pasar keuangan dampaknya adalah volatilitas yang membahayakan ekonomi dalam jangka panjang," jelas dia.
"Harga bbm dan listrik berisiko naik, daya beli merosot, rupiah melemah, investor menyimpan di aset aman, dan kinerja ekspor maupun investasi makin berat," ucapnya.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "AS-Iran Kian Memanas, Ini Dampaknya ke Ekonomi RI"
Penulis : Mutia Fauzia
Editor : Yoga Sukmana
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News