Sumber: Kompas.com | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
Kondisi Penggilingan Menipis
Di tingkat penggilingan, Yeka menemukan banyak yang berhenti beroperasi. Di satu kecamatan, dari 23 penggilingan, 10 tutup. Yang masih beroperasi pun hanya menyimpan 5–10% stok normal.
“Biasanya mereka punya stok 100 ton, sekarang rata-rata 5 ton. Ada yang dari 30.000 ton tinggal 2.000 ton,” ungkap Yeka.
Penyebabnya antara lain persaingan usaha, ketidakpastian pasar, dan kebijakan yang berlaku.
Mengapa Pasar Tradisional Lebih Mahal?
Ombudsman menemukan harga di pasar tradisional lebih mahal karena adanya kompensasi kerugian. Ketika penjual atau distributor menjual beras di supermarket sesuai HET atau lebih rendah, mereka menutupi kerugian itu dengan menaikkan harga di pasar tradisional.
“Di supermarket mereka rugi, di pasar tradisional mereka cari untung. Itulah kenapa harga di pasar tradisional di atas HET,” jelas Yeka.
Usulan Jalan Keluar
Untuk mengatasi kelangkaan, Yeka mendorong pemerintah mempercepat pelepasan stok Bulog ke pasar.
Ia juga mengusulkan Peraturan Badan Pangan Nasional (Perbadan) Nomor 2 Tahun 2023 tentang mutu beras sementara ditangguhkan.
Tonton: Marak Beras Oplosan, Ritel Modern Tarik Beras Premium dari Pasaran
Menurutnya, sebagian stok Bulog merupakan beras impor dari tahun lalu yang mulai berbau apek. Meski tidak memenuhi syarat mutu, beras tersebut masih layak konsumsi jika diolah dengan benar.
“Kalau bau apek dilarang, lantas stok Bulog yang sebagian besar sudah seperti itu bagaimana? Padahal secara gizi aman, tinggal diolah saja,” pungkasnya.
(Tim Redaksi: Suparjo Ramalan, Erlangga Djumena)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Surplus 3,6 Juta Ton, Kenapa Beras Tetap Langka dan Mahal?"
Selanjutnya: Cek Jadwal KRL Jogja Solo Pekan Ini 11-15 Agustus 2025
Menarik Dibaca: Cek Jadwal KRL Jogja Solo Pekan Ini 11-15 Agustus 2025
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News