Reporter: Abdul Basith | Editor: Sofyan Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Banyaknya hambatan terhadap penjualan minyak sawit atau crude palm oil (CPO) membuat Indonesian perlu berupaya untuk menjaga pasar. Penjagaan pasar tersebut perlu dilakukan mengingat minyak sawit merupakan penyumbang utama pendapatan negara. Kenaikan penjualan sebesar 26% tahun 2017 membantu mendorong neraca dagang Indonesia surplus US$ 11,84 miliar.
Ekspor minyak sawit dan produk turunannya (tidak termasuk biodiesel dan oleokimia) tahun 2017 mencapai US$ 22,97 miliar. Tren kenaikan diperkirakan akan berlanjut pada tahun 2018.
"Tren kenaikan ekspor ini di 2018 masih akan terjadi karena cuaca juga mendukung," ujar Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Lampung (Unila), Bustanul Arifin dalam siaran pers, Senin (5/2).
Bustanul memprediksi hingga 10 tahun mendatang, volume dan nilai ekspor minyak sawit dan produk turunannya masih akan terus meningkat. Namun demikian, dia mengingatkan kepada para pelaku usaha dan pemerintah bahwa isu keberlanjutan masih akan terus menjadi kendala.
Upaya diplomasi untuk menjaga pasar tersebut perlu terus dilakukan oleh pemerintah. Selain penjagaan pasar, diplomasi juga perlu didorong untuk membuka pasar baru.
Bustanul bilang negara-negara di Afrika Tengah, Afrika Selatan, negara pecahan Rusia, negara-negara di timur tengah prospektif untuk penjualan minyak sawit. Meski begitu pasar tradisional minyak sawit pun jangan sampai ditinggalkan.
Senada dengan Bustanul, pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics & Finance (Indef) Bhima Yudhistira menyarankan Indonesia membuka pasar baru dalam ekspor minyak sawit. Menurutnya, hingga saat ini Indonesia masih terpaku pada pasar tradisional yang mencapai sekitar 70% dari total negara tujuan ekspor.
“Kita dari dulu masih tidak terbuka untuk pasar baru oleh karena itu tahun 2018 harus buka pasar alternatif itu,” kata Bhima.
Selain itu, kata Bhima, pemerintah harus bisa melakukan diplomasi dagang dengan negara tujuan ekspor. Sebab setiap negara selalu menerapkan kebijakan hambatan baik secara tarif dan non tarif.
Perlu diketahui saat ini Amerika Serikat telah menerapkan lebih dari 2.000 hambatan non tarif, China punya 4.000 hambatan non tarif, sementara Indonesia hanya memiliki 299 hambatan hambatan non tarif. Hal tersebut yang membuat sulitnya minyak sawit Indonesia menembus pasar tersebut.
Indonesia yang memiliki sawit sebagai komoditas potensial, menurut Bhima, harus tetap dijaga dan diperjuangkan, terutama dalam sengketa dagang di forum Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Pemerintah Indonesia dan Malaysia, sebagai dua negara penghasil utama minyak sawit dunia harus bersama-sama melakukan diplomasi.
Menurut Bhima, Indonesia masih memiliki kesulitan untuk memenangi sengketa di WTO. "Selama kita kekurangan tim banding di WTO sehingga harus diperkuat untuk menghadapi sengketa dagang," terang Bhima.
Isu hambatan dagang bermunculan di berbagai negara, seperti Amerika Serikat yang memberlakukan antidumping untuk biodisel Indonesia.
Selain itu, Resolusi Parlemen Eropa juga menyebutkan pelarangan biodiesel berbasis sawit. Hal itu dikarenakan minyak sawit dinilai masih menciptakan banyak masalah dari deforestasi, korupsi, pekerja anak, hingga pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Tahun lalu, India juga menaikkan pajak impor minyak sawit hingga dua kali lipat dibandingkan 2016. Minyak sawit juga berpotensi menghadapi kendala di Australia menyusul Senat Australia yang kembali mengajukan RUU Competition and Consumer Amendment.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News