CLOSE [X]
kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.466.000   -11.000   -0,74%
  • USD/IDR 15.860   -72,00   -0,46%
  • IDX 7.215   -94,11   -1,29%
  • KOMPAS100 1.103   -14,64   -1,31%
  • LQ45 876   -10,76   -1,21%
  • ISSI 218   -3,03   -1,37%
  • IDX30 448   -5,87   -1,29%
  • IDXHIDIV20 540   -6,91   -1,26%
  • IDX80 126   -1,77   -1,38%
  • IDXV30 135   -1,94   -1,41%
  • IDXQ30 149   -1,85   -1,22%

Ini yang dihadapi pemerintah dalam penerapan pajak digital


Rabu, 17 Juli 2019 / 18:11 WIB
Ini yang dihadapi pemerintah dalam penerapan pajak digital


Reporter: Ratih Waseso | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Geliat sektor ekonomi digital memang sedang deras-derasnya. Terutama di Indonesia sendiri yang menjadi negara dengan transaksi digital ketiga setelah China dan India. Posisi ketiga tak lepas dari fakta bahwa di Indonesia ada sekitar 170 juta pengguna internet aktif.

Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Robert Pakpahan menyebutkan bahwa ekonomi digital pada 2018 mencapai sekitar US$ 27 miliar atau sekitar Rp 391 triliun. Sekitar 49% transaksi digital di Asia Tenggara terjadi di Indonesia.

Pesatnya ekonomi digital menawarkan banyak kemudahan mulai dari munculnya inovasi baru hingga menciptakan profesi-profesi baru. 

"Betapa masif ekonomi digital mulai dari sharing economy akomodasi atau transportasi, peer to peer lending, marketplace, crypto currency. Banyak juga profesi baru, tanpa harus keluar rumah, youtuber, selebgram, pengembang aplikasi, ini seperti koin memiliki dua sisi," jelas Robert di acara Taxation on Digital Economy di The Ritz Carlton, Rabu (17/7).

Dengan adanya potensi besar dari berkembangnya ekonomi digital saat ini, ada tantang yang pastinya dihadapi oleh pemerintah dalam menarik pajak terhadap ekonomi digital atau pajak digital. 

Bagaimana mewujudkan regulasi yang adil, kompetitif, memberi kepastian hukum, memudahkan kepatuhan pajak dan miliki sistem yang baik, menjadi tantangan pertama.

Kedua bagaimana Direktorat Jenderal Perpajakan (DJP) memanfaatkan teknologi digital saat ini guna menciptakan sistem administrasi yang lebih terintegrasi terkait administrasi perpajakan. Dalam arti juga bagaimana dengan teknologi yang semakin canggih ini mampu meningkatkan pelayanan bagi wajib pajak.

Robert juga menyoroti mengenai model ekonomi digital dan konvensional yang berbeda. Penarikan pajak digital juga menjadi tantangan dimana saat ini kehadiran secara fisik dari pihak yang dapat menjadi wajib pajak tidak ada di suatu negara tersebut. 

Dalam artian suatu pihak atau instansi yang memperoleh manfaat dengan adanya ekonomi digital ini di satu negara namun belum tentu secara nyata ia hadir di negara tersebut. "No physical presence ini karakteristik utama ekonomi digital yang membuka ruang luas untuk melakukan tax planning atau avoidance," sambung Robert.

Diketahui bahwa dalam penarikan pajak keberadaan secara fisik menjadi satu diantara syarat otoritas pajak dalam melakukan penarikan pajak.

India dan Perancis menjadi dua negara yang telah lebih dulu dalam melangkah urusan pajak digital. Sedangkan di Indonesia sendiri saat ini masih mengacu pada ketentuan UU mengenai PPN dan PPh. 

"Domestik e-commerce pada dasarnya mengacu ketentuan di UU PPh dan PPN karena tidak membedakan untuk transaksi konvensional dan digital, dalam hal ini secara ketentuan antara pelaku usaha konvensional sudah tercipta dengan tersendirinya," terang Robert.

Edukasi lebih lagi kepada para pelaku usaha terutama di sektor digital memanglah diperlukan. DJP dalam hal ini bersama para stakeholder membahas mekanisme untuk penggunaan data sharing. Dijelaskan kembali oleh Robert bagaimana pelaksanaan dari data sharing tersebut.

Direktur Eksekutif MUC Tax Research Institute, Wahyu Nuryanto mengatakan bahwa solusi sementara Indonesia dirasa perlu meniru negara di dunia yang menerapkan pajak digital yang bersifat sementara. 

Namun tetap tak melanggar tax treaty hingga konsesus global telah berlaku. Namun tetap harus berhati-hati dalam menganalisis model bisnis dan pola hidup manusia yang terus berubah. 

Wahyu menyebut juga bahwa DJP harus merubah paradigma pelayanan pajak yang biasanya terkesan bersifat memaksa menjadi mengajak dan memudahkan wajib pajak dengan sistem administrasi yang ada.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek) Mengenal Pentingnya Sustainability Reporting

[X]
×