CLOSE [X]
kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.470.000   4.000   0,27%
  • USD/IDR 15.945   -50,00   -0,31%
  • IDX 7.140   -74,83   -1,04%
  • KOMPAS100 1.092   -10,71   -0,97%
  • LQ45 871   -4,83   -0,55%
  • ISSI 215   -3,21   -1,47%
  • IDX30 447   -1,43   -0,32%
  • IDXHIDIV20 540   0,19   0,03%
  • IDX80 125   -1,23   -0,97%
  • IDXV30 135   -0,31   -0,23%
  • IDXQ30 149   -0,31   -0,21%

Ini skema pengemplangan pajak oleh Google


Jumat, 14 Oktober 2016 / 15:00 WIB
Ini skema pengemplangan pajak oleh Google


Reporter: Hasyim Ashari | Editor: Dupla Kartini

MALANG. Google tercatat sebagai salah satu perusahaan asing pengemplang pajak di Indonesia. Tunggakan perusahaan internet asal Amerika Serikat tersebut ditaksir mencapai Rp 5,5 triliun dalam kurun waktu lima tahun terakhir.

Pengamat Pajak dari Danny Darussalam Tax Center, Darussalam menyampaikan, apa yang dilakukan Google dalam menghindari pajak tidak hanya terjadi saat ini saja. Bahkan sejak awal pendiriannya perusahaan over the top (OTT) ini sudah membuat tax planning atau perencanaan perpajakan secara internasional untuk menghindari pajak.

"Tax planning yang dilakukan yaitu dengan memilih negara-negara yang nilai pajaknya rendah dan banyak memberikan fasilitas pajak untuk mendirikan sebuah perusahaan. Dan ini tidak dilakukan dalam satu negara saja," ujar Darussalam dalam acara Media Gathering DJP, Jumat (14/10).

Darussalam menuturkan, seharusnya Google di negara asalnya dikenakan pajak sebesar 35%. Namun, dengan sekema pajak yang dilakukan, perusahaan ini dapat menghindarinya dan hanya dikenakan pajak sebesar 2,2%.

"Mereka menggunakan skema tax planning double irish dutch sandwich, yaitu dengan memanfaatkan sistem perpajakan negara lain," ungkapnya.

Diketahui bahwa Google merupakan perusahaan yang menjual produk IP (intelektual properti) yang memiliki nilai sangat tinggi. Dan jika dilakukan di negara asalnya maka akan dikenakan tarif 35%. Angka ini dinilai sangat memberatkan maka dari itu mereka mencari negara yang punya sekema pajak yang rendah.

Akhirnya dipilih Irlandia, dan didirikan perusahan di sana. Kemudian untuk efektif manajemennya Google memilih Bermuda. Alasannya, Irlandia menganut hukum perpajakan di mana yang menjadi subjek pajak yaitu perusahaan yang efektif manajemennya ada di Irlandia.

Sedangkan, Bermuda menganut sistim pajak yang menjadi subjek pajak adalah perusahan bukan efektif manajemennya. Dengan begitu Google tidak termasuk subjek pajak pada dua negara tersebut. "Ini yang dimanfaatkan oleh Google," katanya.

Dan ini belum cukup, karena Google masih terkena peraturan Controlled Foreign Company (CFC). Untuk menghindarinya maka Google kembali membuat perusahaan di Irlandia yaitu Google Irlandia Limited (GIL). Hal ini untuk mengakali peraturan tersebut sebab jika ada dua perusahaan maka hanya satu yang dikenakan pajak.

Menghindari pajak di Indonesia

Tak hanya menghindari pajak di negara asalnya, Google juga mencoba menghindari pajak di semua negara yang menjadi sumber penghasilan. Maka dari itu tax planning yang digunakan Google yaitu dengan membagi tiga wilayah di dunia yaitu Eropa, Middle East dan Asia.

Dari tiga bagian dunia itu dipilih negara-negara yang memang paling rendah tarif pajaknya dan memiliki fasilitas-fasilitas pajak yang menarik untuk didirikan perusahaan. Dan untuk di wilayah Asia dipilihlah Singapura yang memang terkembal sebagai surganya pajak.

Mereka memiliki prinsip jangan sampai membuat Bentuk Usaha Tetap (BUT) di negara penghasilan termasuk di Indonesia. Diketahui BUT merupakan ambang batas sebuah negara untuk memungut pajak. "Tapi itu Indonesia tidak berhak memajaki penghasilannya," ungkapnya.

Dan jika memang terpaksa dibuat BUT di negara penghasilan, maka mereka hanya membuat BUT dengan fungsi penunjang dan pelengkap sedangkan fungsi intinya tetap di Singapura. "Jadi yang dibuat cuma fungsi marketing supporting," katanya.

Dengan tidak adanya fungsi keagenan, maka kontrak yang dilakukan antara Google dengan konsumen Indonesia berlansung secara online dan langsung berhubungan dengan Google Singapura. Jadi kontraknya tanpa perantara perwakilan di Indonesia.

Dengan demikian, Kata Darussalam, Google merasa tidak pernah ada BUT di Indonesia karena faktanya seluruh kontrak yang dijalani itu tidak melalui kantor perwakilan di Indonesia. Dengan itu pemerintah Indonesia tidak berhak untuk meminta pajak dari hasil kontrak tersebut.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek) Mengenal Pentingnya Sustainability Reporting

[X]
×