Reporter: Bidara Pink | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ketidakpastian global diperkirakan masih berlanjut pada tahun depan. Meski masih ada ketidakpastian ini, Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual meyakini Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2023 masih cukup untuk menjadi shock absorber pada tahun depan.
David melihat ada tantangan yang menanti pemerintah dalam menjalankan APBN tahun 2023. Tantangan ini berupa terbatasnya ruang fiskal, pendapatan negara yang mungkin tak setinggi pada tahun ini, dan juga ketidakpastian global yang bisa memengaruhi pembengkakan belanja negara.
"Jadi memang tantangannya cukup besar pada tahun 2023. Apalagi ada kontraksi fiskal bila dibandingkan dengan tahun 2022. Jadi ini akan memengaruhi kondisi keuangan negara," tutur David kepada Kontan.co.id, Senin (8/8).
Baca Juga: Jokowi Beri Mandat Khusus ke Sri Mulyani Lakukan Simulasi Stress Test
David menyebut tantangan yang dihadapi APBN 2023. Pertama, keterbatasan ruang fiskal yang datang dari mandat undang-undang untuk menurunkan defisit fiskal di bawah 3% produk domestik bruto (PDB) pada tahun 2023.
Kedua, pendapatan negara yang tak setinggi pada tahun ini seiring dengan harga komoditas yang mengalami normalisasi.
Seperti kita ketahui, pendapatan negara pada akhir tahun 2021 dan pada tahun 2022 memang terbantu dari tingginya harga komoditas. Bisa dilihat pendapatan yang meningkat bahkan dari sisi pendapatan perpajakan maupun pendapatan negara bukan pajak (PNBP).
Ketiga, ketidakpastian global. Pada tahun 2022, dunia dihadapkan dengan konflik antara Rusia dan Ukraina yang menyebabkan disrupsi rantai pasok global dan meningkatnya harga energi global.
Ini kemudian membawa harga energi menjadi meroket. Pemerintah Indonesia pun sampai menambah angka subsidi dan kompensasi energi menjadi Rp 502 triliun untuk menjaga daya beli masyarakat.
Bila konflik ini masih berkepanjangan, ditambah dengan ada kabar timbulk ketegangan antara China dan Taiwan baru-baru ini, David khawatir, harga energi pada tahun 2023 masih tinggi. Sehingga, pemerintah masih harus merogoh kocek dalam-dalam untuk subsidi dan kompensasi, di tengah pendapatan negara yang mungkin tak setinggi tahun ini dan terbatasnya ruang fiskal.
David berharap, ketidakpastian ini akan mereda pada akhir tahun 2022, sehingga pemerintah tak perlu menghadapi kondisi ini. Namun, bila ini terjadi, David pun menyarankan pemerintah untuk bisa melakukan trade off, dengan mengorbankan pos belanja lain.
"Memang harus ada yang dikorbankan, karena melihat jangka menengah panjang. Bisa saja, proyek-proyek yang urgensinya kurang, ditunda dulu untuk menjaga stabilitas dan menimbang pertimbangan lain yang terkait subsidi tadi," kata David.
Lebih lanjut, dengan adanya APBN 2023 menjadi shock absorber, David meyakini, pertumbuhan ekonomi pada tahun 2023 akan berada di level 4,8% yoy hingga 5% yoy.
Baca Juga: Mengukur Kekuatan APBN 2023 Menghadapi Ancaman Resesi Global
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News