Reporter: Dadan M. Ramdan | Editor: Dadan M. Ramdan
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Cargill bersama dengan Economist Intelligence Unit (EIU) merilis laporan berjudul Food for Thought-Eating Better, yang merupakan laporan terakhir dalam lima seri penelitian. Laporan tersebut menyoroti dua sisi dari perkembangan gizi di Asia, melalui penelitian perubahan diet di seluruh wilayah dan merangkumnya dalam enam megatren, yakni kualitas bukan kuantitas, urbanisasi dan pendapatan, obesitas dan nutrisi mikro, hasil yang menyimpang atau diverging outcomes, kesadaran gizi yang rendah, serta kaitan dengan iklan dan sosial media.
Dari laporan ini setidanya memberi peluang bagi para pemangku kepentingan untuk mengatasi persoalan pada enam isu tersebut. Yang mana, fortifikasi dan reformulasi makanan bisa menjadi alat yang ampuh untuk mengatasi kekurangan gizi. Pendekatan ini sebagai cara yang efisien dan hemat biaya untuk mengurangi bahan obesogenic. Penelitian ini juga memberikan gambaran bagi pemerintah untuk fokus membuat kebijakan mengenai produk makanan dengan harga terjangkau dan berkualitas di lingkungan perkotaan. Hanya saja, untuk memenuhi kebutuhan nutrisi yang baik, perlu didorong dengan mengaktifkan sistem pangan dan tidak cukup dengan satu kebijakan.
Selain itu, diperlukan kebijakan tentang kesehatan dan gizi yang bervariasi, mulai dari advokasi dan tindakan bersama yang memiliki dampak lebih besar, daripada mengandalkan dampak pertumbuhan ekonomi yang kecil. Sehingga yang dibutuhkan saat ini adalah kebijakan dan program yang bisa membantu mengatasi persoalan ini secara efektif. Alhasil, upaya memperkenalkan hal paling mendasar dari kesehatan manusia, seperti nutrisi dan kebersihan harus menjadi prioritas.
Terkait laporan penelitian Food for Thought-Eating Better, Arief Susanto, Direktur Corporate Affairs Cargill Indonesia, mengatakan, pihaknya percaya semua pemangku kepentingan, termasuk sektor swasta, memainkan peran penting dalam menemukan solusi untuk menjawab tantangan rantai pasokan makanan. "Kami bekerja dengan petani, pemerintah, kelompok industri, pelanggan dan konsumen untuk membuat masa depan pangan lebih berkelanjutan," katanya di Jakarta, Rabu (12/6).
Tak cuma itu, Arif bilang, pihaknya juga senantiasa memastikan keberaradaan rantai pasokan global secara transparan. "Kami juga menjawab tantangan industri makanan dan kebutuhan konsumen akan bahan makanan yang lebih berkelanjutan, termasuk menelusuri dan transparan pada keberaradaan rantai pasokan global," klaimnya.
Dalam penelitian Food for Thought-Eating Better, Cargill dan EIU melaporkan, pertama, untuk isu kualitas bukan kuantitas menyorot kebutuhan untuk beralih dari makanan 'lebih' menjadi makanan 'lebih baik' akan menjadi prinsip untuk beberapa tahun mendatang. Peningkatan dalam pendapatan per kapita dan grafik asupan kalori menunjukkan pertumbuhan signifikan dalam jumlah makanan yang dikonsumsi, dengan sebagian besar negara mengonsumsi lebih dari 2.500 kalori per kapita setiap hari.
Akibatnya, pertumbuhan asupan kalori cenderung moderat, komposisi diet mengalami perubahan dengan cepat dengan meningkatnya konsumsi protein, terutama daging dan ikan. Di sisi lain, sektor makanan kemasan Asia juga telah mengalami pertumbuhan 4% pada 2017, sekaligus menyoroti peningkatan konsumsi makanan olahan dan tidak meninggalkan persyaratan kebutuhan gizi konsumen.
Kedua, urbanisasi dan kenaikan pendapatan menyebabkan perubahan nutrisi yang signifikan. Peningkatan jumlah masyarakat yang pindah ke daerah perkotaan dan kenaikan pendapatan di antara konsumen, telah menghasilkan peningkatan belanja konsumen, terutama untuk makanan. Urbanisasi dan pertumbuhan pendapatan mendorong perubahan gizi menciptakan ekonomi skala yang cukup, mendorong pertumbuhan gerai makanan cepat saji dan supermarket. Hal ini juga diyakini mendorong gaya hidup masyarakat menjadi kurang bergerak dan mengonsumsi makanan yang lebih enak.
Ketiga, obesitas dan mikronutrien. Saat ini, terjadi peningkatan kasus obesitas pada masyarakat di sejumlah negara Asia, seperti Indonesia, Malaysia, Thailand dan Pakistan. Hal tersebut terjadi akibat meningkatnya konsumsi minuman manis dan makanan olahan. Di sisi lain, urbanisasi ternyata memiliki korelasi langsung dengan obesitas. Pasalnya, selama migrasi ke kota, diet cenderung tidak lagi dilakukan, sekaligus mengonfirmasikan terjadinya perubahan nutrisi ketika pindah ke daerah perkotaan.
Masyarakat di negara kurang berkembang dengan Gross National Income (GNI) per kapita yang lebih rendah, malah lebih rentan terhadap konsekuensi kesehatan negatif dari urbanisasi. Sementara asupan kalori meningkat, kualitas makanan tidak. Tak pelak, muncul defisiensi mikronutrien atau kelaparan tersembunyi pada orang-orang kelebihan berat badan atau terlihat sehat tetapi kehilangan nutrisi penting, menciptakan salah satu tren yang lebih mengkhawatirkan di wilayah ini.
Keempat, status gizi yang menyimpang. Dalam laporan penelitian ini menyebutkan, perkembangan gizi yang tidak merata berasal dari meningkatnya ketidaksetaraan di Asia. Meskipun terdapat pertumbuhan PDB yang signifikan di kawasan ini, kekurangan gizi masih menjadi keprihatinan yang signifikan di Asia, bahkan ketika obesitas tumbuh. Lagipula, tingkat pendidikan dan melek huruf yang lebih rendah di kalangan ibu juga memengaruhi status gizi. Tingkat kemiskinan juga sangat rentan terhadap status gizi berlebihan, bisa dilihat dari kelebihan berat badan dan obesitas yang meningkat di antara segmen masyarakat miskin dan tinggal di perkotaan.
Kelima, kesadaran gizi yang rendah. Kesadaran tentang kekurangan gizi dan kelebihan gizi pada sejumlah negara dan tingkat pendapatan ternyata relatif rendah di wilayah tersebut. Itulah sebabnya ada kebutuhan meningkatkan kesadaran konsumen secara menyeluruh. Khususnya di kalangan ibu, karena ibu adalah sumber nutrisi pertama untuk anak selama "seribu hari pertama" kehidupan. Orang dewasa juga perlu dididik lebih baik tentang bahayanya obesogenic food dan pentingnya berolahraga.
Keenam, media sosial dan periklanan membentuk tren makanan. Intensitas iklan makanan di Asia yang sedang meningkat, cenderung dihambat regulator yang semakin banyak menerbitkan regulasi. Pemerintah sejumlah negara seperti, Taiwan, Singapura dan Korea Selatan telah membatasi dan menahan beberapa jenis iklan. Berdasarkan negara, Singapura dan Filipina mengalami peningkatkan terbesar dalam mengadopsi pelabelan GDA sejak 2012, sementara Malaysia dan Thailand di empat besar untuk tingkat adopsi.
Dan tidak diragukan lagi, media sosial akan menjadi komunikasi utama antara konsumen dan pemangku kepentingan dalam industri makanan. Selain itu, menjadi saluran utama untuk periklanan dan meningkatkan keterlibatan konsumen. Keunggulan media sosial memberikan peluang bagi perusahaan industri makanan, sekaligus memacu upaya memantau dan mengatur konsumen melalui wahana ini.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News