Reporter: Dea Chadiza Syafina | Editor: Asnil Amri
JAKARTA. Mantan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara, Sofyan Djalil mengaku dicecar penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait penunjukan langsung proyek pengadaan Outsourcing Roll Out-Customer Information System-Rencana Induk sistem Informasi (CIS-RISI) di PT PLN tahun 2004-2008.
Sofyan bilang, dirinya yang pernah menjabat sebagai komisaris di PT PLN tak pernah setuju jika ada penunjukan langsung pengadaan tersebut. Namun sampai dengan dirinya diganti sebagai komisaris, proyek tersebut pun tidak jalan. "Saya tadi ditanya (KPK), kenapa tidak setuju dan macam-macam lainnya," kata Sofyan di Gedung KPK, Jakarta, Senin (12/11).
Dikatakan Sofyan, dirinya diundang KPK untuk membantu proses penyidikan kasus CIS-RISI lanjutan. Kali ini, kata Sofyan, terkait dengan 'supplier' dalam pengadaan proyek ini. Proyek pengadaan CIS-RISI menurut Sofyan sudah dimulai sejak 2002, namun pengerjaannya digunakan tanpa ada persetujuan dirinya, yang saat itu menjabat sebagai komisaris PLN. “Saya ditanya apakah keterangan saya dulu berubah atau tidak," lanjut Sofyan.
Sofyan menjelaskan, pihaknya telah meminta proyek itu ditender, namun hal itu batal dilakukan lantaran program tidak disetujui. Kemudian, pada saat pergantian komisaris, tepatnya setelah tahun 2004, program tersebut kembali dijalankan.
Sofyan mengaku tak mengenal Direktur Umum PT Netway Utama Gani Abdul Gani, yang menjadi tersangka hasil pengembangan kasus korupsi CIS-RISI yang menjerat mantan Direktur Utama PT PLN, Eddie Widiono Suwondho, yang telah divonis hukuman pidana penjara lima tahun.
"Saya tidak kenal dengan Pak Gani, kenal belakangan saat menjabat sebagai Menteri Telekomunikasi dan Informasi, dia sebagai pengusaha di bidang 'information communication technology' namun sebelumnya saya tidak pernah kenal dia," ungkap Sofyan.
Sebelumnya, KPK menetapkan Gani sebagai tersangka Maret 2012, karena diduga ikut menerima keuntungan hasil korupsi proyek CIS-RISI yang merugikan negara hingga Rp 46,18 miliar. Gani disangka melanggar Pasal 2 Ayat 1 atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dalam UU no 20 tahun 2001 juncto pasal 55 Ayat 1 KUHP.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News