Reporter: Handoyo | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) merilis persandingan materi muatan UU Ketenagakerjaan dalam UU Cipta Kerja yang dimaknai hakim Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusan nomor 168/PUU-XXI/2023.
Berikut ini isi perbandingannya:
NO | NORMA LAMA | NORMA BARU |
---|---|---|
| Pasal 42 ayat (1) UU 13/2003 Setiap Pemberi Kerja yang mempekerjakan Tenaga Kerja Asing wajib memiliki rencana penggunaan Tenaga Kerja Asing yang disahkan oleh Pemerintah Pusat. | Pasal 42 ayat (1) UU 13/2003 Setiap Pemberi Kerja yang mempekerjakan Tenaga Kerja Asing wajib memiliki rencana penggunaan Tenaga Kerja Asing yang disahkan oleh menteri yang bertanggungjawab di bidang (urusan) ketenagakerjaan, in casu Menteri Tenaga Kerja. |
| Pasal 42 ayat (4) UU 13/2003 Tenaga Kerja Asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam Hubungan Kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu serta memiliki kompetensi sesuai dengan jabatan yang akan diduduki. | Pasal 42 ayat (4) UU 13/2003 Tenaga Kerja Asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam Hubungan Kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu serta memiliki kompetensi sesuai dengan jabatan yang akan diduduki, dengan memerhatikan pengutamaan penggunaan tenaga kerja Indonesia. |
| Pasal 56 ayat (3) UU 13/2003 Jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditentukan berdasarkan Perjanjian Kerja. | Pasal 56 ayat (3) UU 13/2003 Jangka waktu selesainya suatu pekerjaan tertentu dibuat tidak melebihi paling lama 5 (lima) tahun, termasuk jika terdapat perpanjangan. |
| Pasal 57 ayat (1) UU 13/2003 Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dibuat secara tertulis serta harus menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin. | Pasal 57 ayat (1) UU 13/2003 Perjanjian kerja waktu tertentu harus dibuat secara tertulis dengan menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin. |
| Pasal 64 ayat (2) UU 13/2003 Pemerintah menetapkan sebagian pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). | Pasal 64 ayat (2) UU 13/2003 Menteri menetapkan sebagian pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan jenis dan bidang pekerjaan alih daya yang diperjanjikan dalam perjanjian tertulis alih daya. |
| Pasal 79 ayat (2) huruf b UU 13/2003 Waktu istirahat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib diberikan kepada pekerja/buruh paling sedikit meliputi: b. istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu. | Pasal 79 ayat (2) huruf b UU 13/2003 Waktu istirahat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib diberikan kepada pekerja/buruh paling sedikit meliputi: b. istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu. |
| Pasal 79 ayat (5) UU 13/2003 Selain waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Perusahaan tertentu dapat memberikan istirahat panjang yang diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama. | Pasal 79 ayat (5) UU 13/2003 Selain waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Perusahaan tertentu memberikan istirahat panjang yang diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama. |
| Pasal 88 ayat (1) UU 13/2003 Setiap Pekerja/Buruh berhak atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. | Pasal 88 ayat (1) UU 13/2003 Setiap Pekerja/Buruh berhak atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan termasuk penghasilan yang memenuhi penghidupan yang merupakan jumlah penerimaan atau pendapatan pekerja/buruh dari hasil pekerjaannya sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh dan keluarganya secara wajar yang meliputi makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi, dan jaminan hari tua. |
| Pasal 88 ayat (2) UU 13/2003 Pemerintah Pusat menetapkan kebijakan pengupahan sebagai salah satu upaya mewujudkan hak Pekerja/Buruh atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. | Pasal 88 ayat (2) UU 13/2003 Pemerintah Pusat menetapkan kebijakan pengupahan sebagai salah satu upaya mewujudkan hak Pekerja/Buruh atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan dengan melibatkan dewan pengupahan daerah yang di dalamnya terdapat unsur pemerintah daerah dalam perumusan kebijakan pengupahan yang menjadi bahan bagi pemerintah pusat untuk penetapan kebijakan pengupahan. |
| Pasal 88 ayat (3) huruf b UU 13/2003 Kebijakan pengupahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi: b. struktur dan skala upah; | Pasal 88 ayat (3) huruf b UU 13/2003 Kebijakan pengupahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi: b. struktur dan skala upah yang proporsional; |
| Pasal 88C UU 13/2003
| Pasal 88C UU 13/2003
termasuk gubernur wajib menetapkan upah minimum sektoral pada wilayah provinsi dan dapat untuk kabupaten/kota. |
| Pasal 88D ayat (2) UU 13/2003 Formula penghitungan Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempertimbangkan variabel pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu. | Pasal 88D ayat (2) UU 13/2003 Formula penghitungan Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempertimbangkan variabel pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu. Indeks tertentu merupakan variabel yang mewakili kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi provinsi atau kabupaten/kota dengan memperhatikan kepentingan perusahaan dan pekerja/buruh serta prinsip proporsionalitas untuk memenuhi kebutuhan hidup layak (KHL) bagi pekerja/buruh. |
| Pasal 88F UU 13/2003 Dalam keadaan tertentu Pemerintah dapat menetapkan formula penghitungan Upah minimum yang berbeda dengan formula penghitungan Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88D ayat (2). | Pasal 88F UU 13/2003 Dalam keadaan tertentu Pemerintah dapat menetapkan formula penghitungan Upah minimum yang berbeda dengan formula penghitungan Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88D ayat (2). Yang dimaksud dengan “dalam keadaan tertentu” mencakup antara lain bencana alam atau non-alam, termasuk kondisi luar biasa perekonomian global dan/atau nasional yang ditetapkan oleh Presiden sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
| Pasal 90A UU 13/2003 Upah di atas Upah minimum ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara Pengusaha dan Pekerja/Buruh di Perusahaan. | Pasal 90A UU 13/2003 Upah di atas Upah minimum ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara Pengusaha dan Pekerja/Buruh atau Serikat Pekerja/Serikat Buruh di Perusahaan. |
| Pasal 92 ayat (1) UU 13/2003 Pengusaha wajib menyusun struktur dan skala Upah di Perusahaan dengan memperhatikan kemampuan Perusahaan dan produktivitas. | Pasal 92 ayat (1) UU 13/2003 Pengusaha wajib menyusun struktur dan skala Upah di Perusahaan dengan memperhatikan kemampuan Perusahaan dan produktivitas, serta golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi. |
| Pasal 95 ayat (3) UU 13/2003 Hak lainnya dari Pekerja/Buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didahulukan pembayarannya atas semua kreditur kecuali para kreditur pemegang hak jaminan kebendaan. | Pasal 95 ayat (3) UU 13/2003 Hak lainnya dari Pekerja/Buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didahulukan pembayarannya atas semua kreditur termasuk kreditur preferen kecuali para kreditur pemegang hak jaminan kebendaan |
| Pasal 98 ayat (1) UU 13/2003 Untuk memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah dalam perumusan kebijakan pengupahan serta pengembangan sistem pengupahan dibentuk dewan pengupahan. | Pasal 98 ayat (1) UU 13/2003 Untuk memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah dalam perumusan kebijakan pengupahan serta pengembangan sistem pengupahan dibentuk dewan pengupahan yang berpartisipasi secara aktif. |
| Pasal 151 ayat (3) UU 13/2003 Dalam hal Pekerja/Buruh telah diberitahu dan menolak Pemutusan Hubungan Kerja, penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja wajib dilakukan melalui perundingan bipartit antara Pengusaha dengan Pekerja/Buruh dan/atau Serikat Pekerja/Serikat Buruh | Pasal 151 ayat (3) UU 13/2003 Dalam hal Pekerja/Buruh telah diberitahu dan menolak Pemutusan Hubungan Kerja, penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja wajib dilakukan melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mufakat antara Pengusaha dengan Pekerja/Buruh dan/atau Serikat Pekerja/Serikat Buruh |
| Pasal 151 ayat (4) UU 13/2003 Dalam hal perundingan bipartit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mendapatkan kesepakatan, Pemutusan Hubungan Kerja dilakukan melalui tahap berikutnya sesuai dengan mekanisme penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. | Pasal 151 ayat (4) UU 13/2003 Dalam hal perundingan bipartit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mendapatkan kesepakatan maka Pemutusan Hubungan Kerja hanya dapat dilakukan setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang putusannya telah berkekuatan hukum tetap. |
| Pasal 156 ayat (2) UU 13/2003 Uang pesangon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan ketentuan sebagai berikut: | Pasal 156 ayat (2) UU 13/2003 Uang pesangon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit: |
| Pasal 157A ayat (3) UU 13/2003 Pelaksanaan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sampai dengan selesainya proses penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial sesuai tingkatannya. | Pasal 157A ayat (3) UU 13/2003 Pelaksanaan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sampai dengan selesainya proses penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial sesuai tingkatannya, sampai berakhirnya proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang berkekuatan hukum tetap sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang PPHI. |
Selanjutnya: Mengintip Hasil Beautifikasi InJourney Airports di Bandara Soekarno Hatta
Menarik Dibaca: Hujan Turun Siang-Malam, Ini Prakiraan Cuaca Besok (3/11) di Banten
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News