kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45903,33   4,58   0.51%
  • EMAS1.313.000 -0,38%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Ini cara agar terhindar dari penegakan hukum pajak


Jumat, 29 September 2017 / 07:55 WIB
Ini cara agar terhindar dari penegakan hukum pajak


Reporter: Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Wahyu T.Rahmawati

KONTAN.CO.ID - Usai mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 tahun 2017, Direktur Jenderal Pajak pada 22 September 2017 telah menerbitkan Surat Edaran Nomor SE-24/PJ/2017 tentang Petunjuk Teknis Penilaian Harta Selain Kas yang Diperlakukan atau Dianggap Sebagai Penghasilan Dalam Rangka Pelaksanaan Pasal 18 Undang-Undang Pengampunan Pajak.

Dua peraturan ini merupakan langkah pemerintah untuk menegakkan hukum pascaprogram amnesti pajak. Namun, masih ada jalan menuju Roma. Bila Anda belum patuh, Anda masih bisa lakukan ini sebelum terlambat.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Hestu Yoga Saksama mengatakan, bagi Anda yang masih memiliki harta yang diperoleh dari penghasilan yang belum dibayarkan pajaknya, dan harta tersebut belum dilaporkan dalam SPT PPh Tahunan atau Surat Pernyataan dalam program amnesti pajak, Anda dapat melakukan pembetulan SPT PPh Tahunan.

Pembetulan SPT PPh Tahunan ini berarti Anda melaporkan harta dan penghasilan serta pajak yang harus dibayar sesuai ketentuan yang berlaku.

“Pembetulan SPT Tahunan berlaku ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU KUP. Tentu ada sanksi apabila dalam pembetulan SPT Tahunan tersebut terdapat kekurangan pembayaran pajak,” ujarnya.

Hestu mengatakan, sanksi tersebut besarnya 2% perbulan dari pajak yang kurang dibayar dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran. “Berdasarkan Pasal 36 ayat (3) PP Nomor 74 Tahun 2011, besarnya sanksi dapat dikurangi menjadi paling banyak 2% × 24 bulan atau maksimal 48%,” jelasnya.

Nah, apabila membaca aturan terbaru dalam rangka penegakan hukum pasca-amnesti pajak itu, yakni PP 36/2017 dan SE-24/PJ/2017, keduanya mengatur baik WP yang ikut amnesti pajak atau yang tidak ikut dengan konsekuensi yang melekat sesuai dengan UU pengampunan pajak.

Dalam PP, disebutkan bahwa pengenaan pajak atas harta bersih bersifat final, sehingga tidak dapat dijadikan uang muka pajak terhadap keseluruhan utang pajak. Untuk wajib pajak badan dikenakan tarif 25%. Sementara untuk wajib pajak Orang Pribadi (OP) tarifnya 30%. Adapun sejalan dengan UU amnesti pajak yang memberikan tarif berbeda untuk wajib pajak tertentu, dalam PP tersebut tarif untuk wajib pajak dengan penghasilan bruto tertentu tersebut adalah 12,5%.

“Kami akan laksanakan PP ini secara profesional, dalam arti menerapkan prosedur yang baik untuk memastikan validitas suatu harta, siapa pemiliknya, apakah dia penghasilannya dibawah PTKP atau tidak, berapa nilainya dan lain-lain terlebih dulu,” katanya.

Di samping itu, menurut Hestu, Ditjen Pajak juga memiliki prioritas tersendiri untuk jalankan aturan ini, yaitu terutama WP yang tidak ikut amnesti pajak.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×