kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45906,82   3,49   0.39%
  • EMAS1.310.000 -0,23%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Ini 3 keberatan pedagang valas soal kebijakan BI


Minggu, 24 Maret 2013 / 14:38 WIB
Ini 3 keberatan pedagang valas soal kebijakan BI
ILUSTRASI. Setiap Kamis, promo The Best Thursday (TBT) dari KFC kembali menawarkan paket super hemat isi 10 ayam (Dok/?KFC)


Reporter: Anna Suci Perwitasari | Editor: Asnil Amri

JAKARTA. Asosiasi Pedagang Valuta Asing (APVA) akhirnya buka suara terkait penerbitan Surat Edaran (SE) Bank Indonesia (BI) yang mengatur tentang Pembelian Valuta Asing terhadap Rupiah kepada Bank.

Aturan yang tertuang dalam Nomor 15/3/DPM tanggal 28 Februari 2013 itu merupakan perihal perubahan kedua atas SE BI Nomor 10/42/DPD. Ada tiga poin keberatan yang diajukan APVA terhadap beberapa hal yang diatur BI tersebut.

Berikut tiga keberatan yang akan diajukan Idrus Muhamad, Ketua APVA kepada BI:

Pertama adalah penyampaian data konsumen PVA ke pihak perbankan. Hal ini dilihat Asosiasi dapat merugikan, mengingat pihak perbankan memiliki akses ke konsumen PVA sehingga berpotensi mematikan bisnis money changer.

"Kami dan bank kan sama-sama lembaga keuangan, seharusnya saling bersinergi. Kalau datanya harus diberikan ke bank, sama saja mematikan kami," katanya akhir pekan lalu. Seperti diketahui, dalam SE itu dijelaskan mengenai penyempurnaan pengaturan mengenai dokumen underlying yang wajib diserahkan PVA apabila melakukan pembelian valas terhadap rupiah kepada bank.

Kedua adalah keberatan terhadap pembatasan maksimum pembelian valas sebesar US$ 100.000 per bulan oleh PVA. Hal ini dinilai Asosiasi tidak adil, karena dapat mengkerdilkan potensi PVA untuk ekspansi. Apalagi selama ini PVA berkembang tanpa dapat sokongan pihak ketiga, tidak seperti bank yang bisa menggunakan dana nasabahnya.

Jika tiba-tiba ada beberapa nasabah PVA yang butuh dana dan ternyata sampai US$ 200.000, makan akan membuat pedagang valas tidak bisa memenuhinya, dan pasti nasabah akan lari ke perbankan. "Kan uang fisik yang beredar lebih banyak di bank, tapi kan namanya industri tidak bisa beginilah," tambahnya.

Ketiga yang ditolak APVA adalah penyebutan pedagang valas yang seakan menjadi instrumen spekulan pasar valas. Padahal jika melihat data omzet transaksi jual beli yang dilakukan PVA, lebih kecil dibandingan bank.

Idrus menilai, seharusnya ada sinergi demi kepentingan bersama pelaku industri demi tata kelola keuangan lebih baik. Terlebih saat ini PVA hanya memiliki dua produk saja, yaitu travel cek dan bank note.

Sedangkan untuk uang fisik dilihat Idrus sudah jauh berkurang, karena adanya uang elektronik. Jika dibandingkan dengan produk yang dimiliki perbankan yang mencapai sekitar 10, produk PVA jelas tak ada apa-apanya.

Lebih lanjut Idrus menyatakan, alasan spekulasi sulit diterima karena, pedagang valas juga harus berhati-hati saat membeli valas yang akan dijual. "Kan harus diperhitungkan besok kursnya bagaimana, ini kan juga berat," jelasnya.

Karena itu Idrus menilai, seharusnya PVA bisa menjadi kepanjangan tangan dari pihak bank. Mengingat money changer lebih mudah dijumpai di tempat ramai seperti mall, dan jam operasinya lebih fleksibel karena saat weekend biasanya tetap buka.

Nah, walaupun ada beberapa poin keberatan, APVA mendukung adanya undelying setiap pembelian valas. "Kami mendukung adanya undelying di setiap lembaga keuangan," ujar Idrus. Sebagai catatan saja, peraturan untuk PVA yang tertuang dalam SE tersebut akan mulai diberlakukan 1 Mei mendatang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×