kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45909,31   7,91   0.88%
  • EMAS1.354.000 1,65%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Inflasi menghantui redenominasi


Senin, 04 Februari 2013 / 15:36 WIB
Inflasi menghantui redenominasi
ILUSTRASI. Cara mengeluarkan dahak di tenggorokan berguna untuk mengatasi masalah kesehatan yang lain.


Reporter: Dikky Setiawan, Maria Elga Ratri, Amal Ihsan Hadian, Herry Prasetyo, Yudho Winarto |

JAKARTA. Rencana pemerintah dan Bank Indonesia (BI) menerapkan kebijakan redenominasi menakutkan sebagian nasabah bank di Tanah Air.

Desember 2012 lalu, berembus kabar, sejumlah nasabah tajir Bank Panin di salah satu kantor cabang di Jakarta menarik dana mereka. “Beberapa nasabah beralasan menarik dana besar karena takut isu redenominasi,” bisik sumber KONTAN yang mewanti-wanti namanya tidak dikutip.

Benarkah? Roosniati Salihin, Wakil Presiden Direktur Bank Panin, tidak memberikan jawaban memuaskan. Dia hanya bilang, penarikan uang oleh pemilik karena alasan apa pun wajar-wajar saja. “Saya kira dampak langsung yang negatif belum ada,” kata Roosniati.

Penarikan uang besar-besaran oleh nasabah Bank Panin hanyalah satu dari banyak konsekuensi redenominasi mata uang rupiah. Kelak, banyak kalangan yang bakal direpotkan dengan kebijakan itu.

Nixon L.P. Napitupulu, Corporate Secretary Bank Mandiri, mengungkapkan, untuk menyesuaikan kebijakan redenominasi, pengelola bank harus mengubah sistem informasi teknologi (IT) yang lama dengan yang baru. Tentu, ada dampak awal berupa biaya yang harus ditanggung perbankan untuk mengubah sistem IT dan infrastruktur. Ujung-ujungnya, akan mempengaruhi laba perusahaan. “Seberapa besar biayanya, belum tahu,” ujar dia.

Toh, menurut Muhamad Ali, Corporate Secretary Bank Rakyat Indonesia (BRI), sistem layanan perbankan takkan berubah banyak. Masih bisa memakai sistem yang sekarang. Pada masa transisi redenominasi nanti, ia menjelaskan, akan ada dua sistem yang berjalan beriringan. Misalnya, mesin ATM menyediakan dua jenis mata uang, yakni uang rupiah lama dan baru sekaligus.

Namun, Destry Damayanti Chief Economist Bank Mandiri,mengingatkan, kebijakan redenominasi bisa menimbulkan persepsi berbeda tentang nilai nominal mata uang di masyarakat. Karena terbiasa menilai uang dengan nominal besar, bisa saja pelaku usaha mengira, menambahkan Rp 1 tidak masalah. Padahal, nilainya itu sama dengan Rp 1.000 uang lama. Atau, bisa juga konsumen salah mengerti nilai uang baru Rp 1.000 yang nilainya sejuta sama dengan Rp 1.000 uang lama. “Ini bisa menyebabkan kekacauan,” cetus dia.

Destry menilai, proses peralihan dari rupiah lama ke rupiah baru bakal memakan waktu. Dia berharap, proses sosialisasi berlangsung satu tahun hingga dua tahun. Dengan begitu, sisa waktu tiga tahunempat tahun dari total enam tahun yang pemerintah dan BI targetkan untuk proses redenominasi, fokus ke implementasi dan pengawasan. Yang tidak kalah penting adalah, pemerintah harus bisa mengendalikan harga barang-barang yang beredar di pasar.

Sigit Pramono, Ketua Umum Persatuan Bank-Bank Umum Nasional (Perbanas), berujar, redenominasi akan berdampak pada pembulatan nilai nominal uang. Nah, “Kalau pembulatan ke atas, tentu akan memicu laju inflasi. Ini harus diperhitungkan BI dan pemerintah,” katanya.

Karena itu, Sigit menambahkan, sosialisasi redenominasi harus dilakukan dengan rencana yang baik, secara masif dan berjenjang oleh seluruh aparatur negara. Misalnya, mulai dari level menteri, gubernur, hingga kepala desa harus bisa menjelaskan kepada masyarakat, bahwa redenominasi hanyalah penyederhanaan, bukan perubahan nilai uang. Kalau perlu, sosialisasi dilaksanakan dengan bahasa daerah masing-masing. Sehingga, masyarakat memahami implementasinya.

Inflasi bisa melonjak

Kegelisahan serupa dialami pelaku usaha di bisnis ritel bahan bakar minyak (BBM). Eri Purnomohadi, Ketua Umum Himpunan Wiraswasta Nasional Minyak Bumi dan Gas Bumi (Hiswana Migas), menuturkan, redenominasi bukan mustahil menimbulkan gejolak inflasi. Dia khawatir, ada peluang spekulasi bagi mereka yang mengerti di bidang ini. Buntutnya, inflasi bisa melonjak. Jadi, “Pemerintah dan BI harus mempertimbangkan kembali rencananya tersebut,” pinta dia.

Redenominasi, Eri melanjutkan, juga akan memberikan efek psikologis terhadap transaksi pembayaran pembelian BBM di stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU). Sebab, pada masa peralihan redenominasi akan ada dua jenis rupiah yaitu rupiah lama dan baru, yang bukan tidak mungkin membuat bingung orang.

Bukan cuma itu. Menurut Eri, untuk menyesuaikan redenominasi, para pemilik SPBU juga harus mengubah sistem nominal yang tertera di layar dispenser BBM. Belum lagi masalah transaksi pembayaran nonfisik, seperti kartu kredit atau debit. “Kami harus melatih operator SPBU agar tidak merugikan konsumen,” imbuh dia.

Dalam kajian akademisnya, BI memang melihat potensi tambahan inflasi dari pembulatan ke atas harga barang. Untuk itu, BI menyarankan, perlu ada ketentuan yang lengkap dan tegas untuk melakukan pembulatan ke atas harga barang, termasuk monitoring dan kerjasama asosiasi usaha.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) juga masih khawatir redenominasi akan mendorong inflasi tinggi. Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi dan Pembangunan Firmanzah menjelaskan, SBY mengingatkan agar kebijakan redenominasi tidak menyebabkan inflasi terbang tinggi. “Dalam rapat kerja pemerintah (RKP), Senin (28/1) lalu, Presiden mengingatkan hati-hati dengan inflasi,” ungkapnya.

Tapi, pandangan berbeda keluar dari Tutum Rahanta, Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo). Dia menyambut positif kebijakan redenominasi. Selama ini, sejumlah pengusaha ritel sudah melakukan pola redenominasi. Contoh, barang senilai
Rp 29.000, tapi daftar harga di rak tiga nol di belakang 29 tulisannya dikecilkan. Jadi, harga yang terlihat konsumen hanya Rp 29. “Secara tidak langsung, pebisnis ritel sudah menerapkan pola redenominasi dalam kegiatannya,” jelas dia.

Kekhawatiran banyak pihak pelaku usaha ritel akan melakukan pembulatan ke atas ditepis Tutum. Dia menegaskan,persaingan harga di bisnis ritel saat ini sangat terbuka. Konsumen akan mudah melihat perbandingan harga produk yang dijual di gerai-gerai ritel. Ambil contoh, sebuah gerai ritel menjual produk Rp 51.500 atau Rp 51,5, lalu dibulatkan Rp 52. Jika cara ini dilakukan, gerai itu bisa ditinggalkan konsumen.

Pun begitu, Tutum mengatakan, praktik kecurangan selalu terbuka jika sosialisasi redenominasi tidak berjalan baik terutama di daerah. “Bagaimana kalau ada yang mau mengambil kesempatan, misalnya, di daerah? Kalau di kota besar jangan khawatir, konsumen semakin pintar,” kata Tutum.

Untuk mencegah ulah nakal pelaku usaha, Tutum menyarankan, pemerintah harus menyediakan uang pecahan terkecil hingga satuan sen. Jadi, nilai nominal terkecil mata uang rupiah tetap digunakan oleh konsumen saat berbelanja. Alhasil, praktik pembulatan nominal ke atas tidak akan terjadi.

Sedang untuk transaksi pembayaran dengan uang non-fisik seperti kartu kredit, juga tidak menyulitkan pelaku usaha. Yang penting, pemerintah memberikan kepastian kapan redenominasi diberlakukan.

Mengganti nama rupiah

Tony Prasetiantono, pengamat ekonomi dari Universitas Gadjah Mada, menimpali, salah satu konsekuensi dari redenominasi adalah Indonesia harus menciptakan mata uang baru. Artinya, mata uang Indonesia tidak lagi bernama rupiah (Rp), tapi rupiah baru (Rpb).

Cara ini, Tony bilang, dilakukan oleh sejumlah negara yang melakukan kebijakan redenominasi. Misal, Venezuela. Ketika menerapkan redenominasi pada 2008, negeri kaya minyak ini harus mengganti nama mata uangnya dari bolivar menjadi bolivar fuerte (baru).

Hal serupa dilakukan Turki yang menerapkan redenominasi pada 2005. Negara yang berbatasan dengan Benua Asia dan Eropa ini harus mengganti nama mata uangnya dari lira menjadi new lira. “Indonesia ketika menerapkan redenominasi juga harus mengganti nama mata uang, dari rupiah jadi rupiah baru,” imbuh Tony.

Cara itu bertujuan agar masyarakat mendapat kepastian hukum dalam penggunaan mata uang pada masa peralihan redenominasi. Nama rupiah bisa dikembalikan lagi jika seluruh masyarakat sudah menggunakan rupiah baru dan rupiah lama sudah tak beredar.

Tapi, ekonom Rizal Ramli berpendapat, redenominasi tidak berbeda dengan sanering. Biasanya, sanering dilakukan ketika inflasi di satu negara sangat tinggi atau hyper inflation dan ekonomi sedang dalam masa krisis. Dalam kasus seperti itu, pemotongan uang oleh negara terpaksa dilakukan untuk stabilisasi ekonomi.

Betul, Rizal menyatakan, bagi kaum jetset, rupiah baru hasil redenominasi membuat mereka lebih nyaman. Mereka tidak perlu membawa berlembar-lembar uang yang memenuhi dompet lagi. Cuma pertanyaannya, berapa persen orang Indonesia yang di kantongnya ada uang tunai Rp 10 juta per hari? Persentasenya kurang dari 0,5% dari populasi. Lalu, “Kenapa merancang kebijakan hanya untuk menyenangkan 0,5% penduduk? Padahal, kebijakan itu menguras daya beli mayoritas rakyat,” tegas dia.

Dampak lainnya, kebijakan redenominasi justru semakin mempermudah penyogokan para pejabat. “Jika sebelum redenominasi perlu boks bekas durian untuk menyogok pejabat miliaran rupiah, nanti cukup menggunakan amplop kecil,” imbuh Menteri Koordinator Perekonomian di Pemerintahan Abdurrahman Wahid ini.

Itu sebabnya, Rizal meminta agar pemerintah dan BI menghentikan rencana redenominasi. Kebijakan ini hanya merugikan daya beli masyarakat. Kalau pemerintah dan bank sentral ngotot menerapkan redenominasi, bisa menimbulkan konflik kepentingan pejabat BI dengan pemasok kertas khusus untuk uang rupiah yang baru.

Rizal memberi saran, BI sebaiknya tetap fokus pada tugas utamanya, yaitu menjaga stabilitas moneter dan menurunkan net interest margin perbankan tertinggi di dunia yang saat ini mencapai 7%. Sehingga, mengurangi daya saing produk Indonesia. Pemerintah baiknya juga fokus pada percepatan pembangunan infrastruktur.

Akur?

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Success in B2B Selling Omzet Meningkat dengan Digital Marketing #BisnisJangkaPanjang, #TanpaCoding, #PraktekLangsung

[X]
×