kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45923,49   -7,86   -0.84%
  • EMAS1.319.000 -0,08%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Indonesia hadapi 37 kasus trade remedies selama pandemi, begini saran Kadin


Selasa, 29 Desember 2020 / 21:23 WIB
Indonesia hadapi 37 kasus trade remedies selama pandemi, begini saran Kadin
ILUSTRASI. Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Hubungan Internasional Shinta W. Kamdani. (Kontan/Lidya Yuniartha)


Reporter: Vendy Yhulia Susanto | Editor: Herlina Kartika Dewi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Perdagangan (Kemendag) mengatakan, terdapat 37 kasus trade remedies yang ditangani selama pandemi Covid-19 berlangsung. Inisiasi kasus tersebut terdiri dari 23 kasus anti dumping serta 14 kasus safeguard.

Menanggapi hal tersebut, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Hubungan Internasional Shinta W. Kamdani mengatakan, tuduhan trade remedies adalah hak semua negara untuk melakukan penyelidikan terhadap impor yang masuk ke negaranya. Selama Indonesia mau terus mengekspor, tuduhan trade remedies dan potensi kebijakan non tarif atau non tariff measures (NTMs) akan selalu menjadi risiko.

“Karena itu yang terpenting adalah memastikan kebijakan nasional terkait perdagangan dan industri tidak bertentangan dengan prinsip perdagangan global yang sudah dikomitmenkan,” kata Shinta kepada Kontan.co.id, Selasa (29/12).

Kemudian, harus ada edukasi kepada pelaku usaha, khususnya eksportir, terkait trade remedies sehingga bila eksportir nasional dikenai tuduhan, mereka tahu bagaimana mengkoordinasikan diri dan membantu Indonesia dalam proses pembelaan. Sehingga tuduhan – tuduhan remedies tersebut bisa dimentahkan dan tidak mengganggu kelancaran ekspor nasional.

Baca Juga: Kemendag hadapi 37 kasus trade remedies selama pandemi, ini kata pengusaha

Selanjutnya, perlu ada perbaikan kualitas sumber daya manusia (SDM) dan sistem di tingkat nasional terkait penyelidikan dagang/trade intelligence dan pembelaan dalam kasus-kasus trade remedies bagi Indonesia. 

Secara sistem, harus diperbaiki karena Indonesia hampir tidak punya trade intelligence sehingga kita relatif jarang melayangkan tuduhan dumping atau subsidi kepada negara asal impor.

Bahkan kalau ditemukan dan terbukti ada praktik dumping atau subsidi, sering tidak dikenakan sanksi kepada eksportir di negara asal karena alasan kepentingan nasional misalnya untuk menjaga kelancaran supply bahan baku. Hal ini praktik yang salah dan merugikan pasar nasional yang berkontribusi menyebabkan peningkatan ketergantungan impor nasional.

“Kualitas dan koordinasi SDM di dalam dan luar negeri yang menangani dan menanggapi tuduhan trade remedies juga perlu ditingkatkan karena tuduhan trade remedies memiliki batas waktu respon yang relatif pendek,” ujar Shinta.

Shinta mengaku, sering kali informasi terkait tuduhan baru diketahui pelaku usaha ketika satu minggu hingga dua minggu atau beberapa hari sebelum deadline respon sehingga perusahaan tidak punya cukup waktu untuk mempersiapkan respon. Hal ini pun sering tidak jelas harus koordinasi dengan siapa di pihak pemerintah di dalam negeri maupun di perwakilan di luar negeri.

“Koordinasi antara pemerintah dan eksportir ini harus diperbaiki dan kecepatannya juga harus dijaga sehingga kita efisien dan efektif melakukan pembelaan. Selain itu, SDM nasional di pihak pemerintah dan pelaku usaha juga harus terus ditingkatkan pemahaman dan skills untuk melakukan lobby dan pembelaan dalam menghadapi trade remedies agar kita bisa memenangkan tuduhan – tuduhan tersebut dengan baik,” jelas Shinta.

Terkait trend proteksionisme, Shinta menilai Indonesia sudah on the right track dengan membentuk FTA dengan berbagai mitra dagang penting. FTA dengan sendirinya akan mengekang negara partner untuk menciptakan/memberlakukan pengukuran (measures) yang bersifat proteksionis terhadap Indonesia.

“Karena itu, selama aturan-aturan WTO belum berubah dan proses reformasinya masih berlangsung, sangat penting bagi Indonesia untuk menciptakan FTA dan CEPA dengan mitra dagang penting untk menjamin certainty iklim perdagangan, kelancaran dan akses pasar ekspor nasional untuk memitigasi uncertainty yang terjadi secara multilateral,” terang Shinta.

Baca Juga: Selama pandemi, Kemendag sudah hadapi 37 kasus trade remedies

Selain itu, Indonesia juga perlu berpartisipsi lebih aktif dalam proses reformasi WTO untuk memastikan bahwa aturan dagang multilateral yang akan disepakati turut berpihak kepada Indonesia dengan mencegah tumbuhnya pengukuran – pengukuran proteksionis terhadap negara berkembang.

Di luar konteks di atas, Kadin meminta Indonesia perlu terus menerus membenahi diri di sisi nasional agar bisa terus bisa bersaing di pasar global dan meningkatkan varian serta produktifitas ekspor. Komoditas ekspor nasional harus segera didiversifikasi varian ekspornya agar stabilitas ekspor nasional tidak tergantung pada beberapa komoditi sehingga rentan dikenai tuduhan trade remedies.

“Bila ekspor nasional terus menerus didominasi oleh komoditi tertentu, stabilitas penerimaan ekspor rentan hancur seketika bila segelintir komoditi ekspor unggulan diserang trade remedies atau measures proteksionis lain di negara tujuan,” tutur Shinta.

Selanjutnya: Mandiri Sekuritas: IHSG bisa menuju 6.850 di tahun depan

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×